Minggu, 28 Juli 2013

Keluarga Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم


Istri- istri Nabi زوجات النبي
Cucu Nabi
Paman Nabi
 sumber http://ahlulhadist.wordpress.com/

Baca Selengkapnya ....

Biografi Para Ulama Ahlul Hadits



بسم الله الرحمن الرحيم

Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :
Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan.

sumber http://ahlulhadist.wordpress.com/

Baca Selengkapnya ....

Apakah Ada Yang Dikatakan "hukum karma"?


Bismillah..afwan, apakah ada yang dikatakan "hukum karma"?
Jawab:
Apa yang dimaksud hukum karma?
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
“Untuk menghukumi sesuatu harus mengetahui penggambarannya terlebih dahulu”

Apa itu hukum karma?  Adapun di dalam islam tidak dikenal ada istilah hukum karma, itu tidak ada. Tidak ada sama sekali. Tidak disebutkan dalam Al Qur'an, tidak disebutkan dalam sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Istilah hukum karma, kalau yang dimaksud bahwa hukum karma itu dari Hindu, yaitu agamanya Hindu. Itu keyakinan mereka, dan itu tidak ada hubungannya dengan Islam, kalau yang ditanyakan adalah hukum karmanya.
Na'am, makanya kembali kepada istilah hukum karma itu apa sih? Saya sendiri tidak memahami secara detail. Tapi kalau yang dimaksud misalnya, siapa yang berbuat, dia akan mendapatkan balasannya. Siapa yang melakukan satu perbuatan, dia akan menerima hasilnya. Apabila seorang berbuat kebaikan, kebaikan pula yang dia dapatkan. Apabila seorang berbuat dzolim, maka dia akan mendapatkan pula akibatnya.
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Maka balasan dari keburukan itu keburukan yang semisalnya..”

Seseorang yang melakukan perbuatan yang dzolim, itu tidak akan dibiarkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. Pasti akan ada balasannya, entah di dunia atau di akhirat. Siapa saja yang berbuat kejahatan, maka pasti akan ada balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, entah di dunia ataukah di akhirat. Kalau yang dimaksud dari sisi ini. Bahwa setiap perbuatan keburukan itu ada balasannya, maka dari sisi ini benar.
Demikian banyak dalil dari Al Qur'an, dari hadits-hadits nabi Shallallahu 'Alaihi wa Ala 'Alihi wa Sallam yang menerangkan tentang hal tersebut. Tapi kalau kembali kepada istilah bahwa hukum karma, apakah ada di dalam Islam? Tidak ada di dalam Islam hukum karma itu. Tidak dikenal di dalam Islam, istilah hukum karma.  Barakallahu fiikum.

Oleh : Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari hafizhahullah
Click to download in MP3 format (330kB)

http://www.salafybpp.com/index.php/aqidah-islam/168-apakah-ada-yang-dikatakan-hukum-karma

Baca Selengkapnya ....

Lebih Utama Mana Qiyamul Lail (Shalat Tarawih) Di Rumah atau Di Masjid?


Meraih Keutamaan QIYAMUL LAIL (SHALAT TARAWIH) Dimalam-malam Bulan Ramadhan.
Hendaknya seorang Muslim berlomba-lomba dalam meraih keutamaan yang AFDHOL sesuai dengan kemampuan dan kemudahan baginya. Semua riwayat yang datang masing-masing menunjukkan keutamaan dan Rahmat Allah bagi kaum Muslimin..
-------------
Berikut Penjelasannya

Oleh : Ustadz Abu Muawiyah Askari hafizhahulloh.

Click to download in MP3 format (2.98MB)

http://www.salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/167-lebih-utama-mana-qiyamul-lail-shalat-tarawih-di-rumah-atau-di-masjid

Baca Selengkapnya ....

Sabtu, 27 Juli 2013

MENGAPA KITA MEMAKAI NAMA SALAFY?

MENGAPA KITA MEMAKAI NAMA SALAFY?

Oleh:

Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah

Soal:Mengapa kita memakai nama Salafy ? apakah penamaan itu bukan termasuk ajakan kepada hizbiyah atau thaifiyah (seruan untuk berfanatik kepada kelompok tertentu) ataukah merupakan kelompok baru dalam Islam?
Jawab:Sesungguhnya istilah Salaf sudah dikenal dalam bahasa Arab maupun dalam syariat Islam. Namun yang kita utamakan disini adalah pembahasan nama tersebut dari segi syariat.
Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fathimah Radhiallahu anha: “Bertakwalah kepada Allah (wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.”
Dan para ulama pun sangat sering menggunakan istilah salaf sehingga terlalu banyak untuk dihitung. Dan cukuplah salah satu contoh yang biasa mereka gunakan sebagai hujjah untuk memerangi bid’ah: ‘Segala kebaikan adalah dengan mengikuti jejak Salaf. Dan segala kejelekan ada pada bid’ahnya kaum khalaf ‘. Tetapi ada sebagian orang yang mengaku ulama (ahlul ilmi) menolak penisbatan (penyandaran) diri kepada Salafi ini. Mereka menganggap penisbatan ini tidak ada asalnya sama sekali! Menurut mereka, seorang muslim tidak boleh mengucapkan : “Saya pengikut para Salafus Shalih dalam segala apa yang ada pada mereka baik dalam beraqidah, ibadah maupun berakhlak.”
Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini, kalau memang demikian yang mereka maksudkan, menunjukkan adanya tindakan untuk melepaskan diri dari pemahaman Islam yang shahih (benar) sebagaimana yang dipahami dan dijalani oleh salafus shalih dan pemimpin mereka Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti tersebut dalam hadits mutawatir yang terdapat dalam shahihain (Bukhari-Muslim) dan lain-lain bahwa Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para Shahabatku), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in)”.
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh melepaskan diri dari penisbatan kepada Salafus Shalih. Sebab tidak mungkin para ulama akan menisbatkan istilah salaf kepada kekafiran maupun kefasikan. Sementara orang-orang yang menolak penamaan itu sendiri, apakah mereka tidak menisbatkan dirinya kepada salah satu madzhab yang ada? Baik madzhab yang berhubungan dengan aqidah maupun fiqih? Mereka ini kadang-kadang ada yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyah atau Maturudiyah.
Ada pula yang menisbatkan dirinya kepada para ahlul hadits seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, atau Hambaliyah yang (kelima madzhab yang terakhir ini) masih termasuk dalam lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyah atau madzhab imam yang empat (al-Aimmah al-Arba’ah) tidak diragukan lagi bahwa mereka itu menisbatkan diri kepada person atau orang-orang yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan), meskipun diantara mereka terdapat ulama yang benar.
Alangkah lebih baik kalau sekiranya mereka mengingkari penisbatan kepada orang-orang yang tidak ma’shum tersebut. Adapun orang yang menisbatkan diri kepada salafus shalih, sesungguhnya dia telah menisbatkan dirinya kepada yang ma’shum (yakni Ijma’ para shahabat secara umum). Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan ciri-ciri Al-Firqah An-Najiyah (golongan yang selamat), yaitu mereka yang senantiasa berpegang kepada sunnah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para Shahabatnya Ridhwanullah ‘alaihim ‘ajma’in.
Barangsiapa berpegang teguh kepada sunnah mereka, maka dia pasti akan mendapat petunjuk dari Rabbnya.
Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al-Firqah An-Najiyah. Sedangkan orang yang menisbatkan dirinya kepada selain mereka, tidaklah demikian keadaannya. Karena dalam hal ini dia hanya mempunyai dua alternatif.
Pertama, boleh jadi dia menisbatkan diri kepada seseorang yang tidak ma’shum.
Kedua, dia menisbatkan dirinya kepada orang-orang yang mengikuti madzab tersebut yang tentu saja tidak ada kema’shuman sama sekali.
Sebaliknya para shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan merupakan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan. Dan kita telah diperintahkan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para shahabatnya. Hendaklah kita senantiasa konsisten terhadap pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj (metode pemahaman) para shahabat. Agar kita tetap berada di dalam “al-’ishmah” (terlindung dari kesesatan) dan tidak menyimpang dari manhaj mereka, dengan memakai pemahaman sendiri yang sama sekali tidak didukung oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kemudian, mengapa tidak cukup bagi kita dengan hanya menisbatkan diri kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, tanpa pemahaman Salafus Shalih? Maka dalam hal ini ada dua sebab :
Pertama, sebab yang berhubungan dengan nash-nash syar’iah.
Kedua, sebab yang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada kelompok-kelompok Islam.
Penjelasan.
1. Yang berhubungan dengan sebab pertama:
Kita temukan dalam nash-nash syar’iah, perintah untuk mentaati segala sesuatu yang disandarkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana firman Allah Ta’ala :“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), bila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa:59)
Seandainya ada seorang Waliyul Amri (pemimpin kaum muslimin) yang telah dibaiat oleh kaum muslimin maka kita wajib taat kepadanya, sebagaimana kita wajib taat kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Meskipun dia dan para pengikutnya kadang-kadang berbuat salah. Kita wajib taat kepadanya untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan karena perselisihan tersebut, tetapi ketaatan itu harus dengan syarat yang sudah dikenal, yaitu:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah.” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no.197)
Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman : “Barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalannya Sabilil Mukminin (para shahabat), maka kami biarkan dia tenggelam dalam kesesatan (berpalingnya dia dari kebenaran) dan kami masukkan ke neraka Jahannam. Dan itu merupakan seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’:115)
Sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Tinggi sehingga tidak mungkin Dia berkata tanpa faedah dan hikmah. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa penyebutan Sabilul Mukminin (jalannya orang-orang mukmin) dalam ayat ini mempunyai hikmah dan faedah yang sangat tinggi.
Penyebutan ini menunjukkan bahwa di sana ada suatu kewajiban yang sangat penting, yaitu : ittiba’ kita terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah harus sesuai dengan manhaj yang dipahami dan dijalankan oleh generasi awal kaum muslimin, para shahabat ridhwanullah alaihim kemudian generasi berikutnya (para tabi’in), kemudian generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in). Dan seruan inilah yang senantiasa dikumandangkan oleh Da’wah Salafiyah sekaligus menjadi rujukan utama mereka, baik dalam asas dakwah maupun dalam manhaj tarbiyah.
Sesungguhnya dakwah Salafiyah pada hakekatnya hendak menyatukan umat Islam, sedangkan dakwah-dakwah yang lain justru sebaliknya memecah-belah umat. Allah Ta’ala berfirman : “Dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar.” (At-Taubah:119)
Maka barang siapa yang ingin memisahkan Al-Kitab dan As-Sunnah di satu sisi dan para Salafus Shalih di sisi lain, dengan memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak sesuai dengan pemahaman mereka, maka selamanya dia tidak akan menjadi orang yang shadiq (benar).
2. Yang berhubungan dengan sebab kedua.
Kelompok-kelompok dan partai yang ada pada zaman ini tidak mau beralih secara total kepada Sabilul Mukminin yang tersebut pada ayat di atas, yang hal ini diperkuat oleh beberapa hadits. Antara lain hadits “Iftiraqul Ummah” (perpecahan umat) menjadi 73 firqah (golongan), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang ciri-ciri mereka telah disebutkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam : “Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini.” (lihat : Silsilah Al-Hadits Ash-Shohihah, Syaikh Al-Albani no 203 & 1192)
Hadits ini serupa dengan ayat di atas (QS. An-Nisa: 115), dimana keduanya menyebutkan Sabilul Mukminin. Kemudian dalam hadits lain dari Irbadh bin Sariyah, Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku” (lihat: Irwa’ul Ghalil,Al-Albani no 2455)
Berdasarkan keterangan di atas, maka di sana ada sunnah yang harus kita pegang teguh yaitu sunnah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, kita wajib kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Sabilul Mukminin (jalannya para shahabat). Tidak boleh kita mengatakan: “Kami memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman sendiri, tanpa memandang sedikitpun pada pemahaman Salafus Sholih.”
Pada zaman sekarang ini, kita harus melakukan bara’ (pemisahan diri) yang betul-betul bisa membedakan diri kita dengan golongan sesat lainnya. Tidak cukup bagi kita hanya dengan mengucapkan: “saya muslim” atau “madzhabku Islam”, sebab golongan-golongan yang sesatpun menyatakan demikian. Seperti kaum Syiah Rafidhah, Ibadhiyyah, Qadiyaniyyiah (Ahmadiyah) maupun golongan-golongan sesat lainnya. Sehingga apa bedanya kita dengan golongan sesat tersebut?
Bila kita mengatakan : “Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Ucapan ini masih belum cukup karena kelompok-kelompok (sesat) seperti Asy’ariyah, Maturudiyah, dan kaum Hizbiyah, mereka juga mengaku mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa penamaan yang jelas dan gamblang serta dapat membedakan antara golongan yang selamat dengan golongan yang sesat ialah dengan mengatakan: “Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj Salafus Shalih” atau lebih singkatnya: “Saya Salafi!”
Oleh sebab itu, sesungguhnya kebenaran yang tidak bisa disangsikan lagi ialah : tidak cukup kita hanya bersandar dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa tuntunan dari manhaj Salafus Shalih, baik dalam pemahaman dan pola pikir, dalam ilmu dan amal, maupun dalam dakwah dan jihad.
Kita semua mengetahui bahwa mereka semua (para Salafus Shalih ridhwanullah alaihim ajma’in) tidak fantaik terhadap satu madzhab atau kepada individu tertentu. Sehingga kita tidak pernah menemukan di antara mereka ada yang bersikap fanatik tergadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ataupun Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum.
Bahkan sebaliknya seorang diantara mereka jika memungkinkan untuk bertanya kepada Abu Bakar atau Umar atau Abu Hurairah, maka mereka akan bertanya kepadanya (tanpa memilih-milih). Semua itu mereka lakukan karena mereka meyakini bahwa tidak boleh seseorang memurnikan ittiba’nya kecuali kepada seorang yaitu Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab beliau salallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Kalaupun kita bisa menerima bantahan orang-orang yang mengkritik pemahaman salafi, sehingga kita cukup hanya menamakan diri dengan istilah muslim saja, tanpa menisbatkan diri kepada Salafus Shalih meskipun penisbatan tersebut merupakan penisbatan yang mulia dan shahih. Lantas apakah dengan demikian orang-orang yang mengkiritik itu bersedia melepaskan diri dari penamaan terhadap kelompok-kelompok, madzhab-madzhab, thariqat-thariqat mereka meskipun penisbatan itu semua tidak syar’i dan tidak shahih?
“Cukuplah bagimu perbedaan diantara kita ini. Dan setiap bejana akan memancarkan air yang ada di dalamnya.” Allahlah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan Dialah tempat meminta pertolongan.

(Edisi Perdana Salafy/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, hal 8-10)

 sumber: http://tukpencarialhaq.com/about/mengapa-kita-memakai-nama-salafy/

Baca Selengkapnya ....

Sabtu, 20 Juli 2013

Ketinggian Hilal Harus 2 derajat ?

crescent_pbase

Oleh Ustadz Alfian

« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة »

Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim 1081)

Dalam hadits tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan untuk berpegang kepada ru`yatul hilal untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, atau apabila gagal maka ditempuh cara istikmal (menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari).
Namun bersama jelasnya hadits tersebut setiap tahun kaum muslimin selalu rebut dan berselisih. Sebagian menyatakan bahwa ketinggian hilal minimal harus 2 derajat baru dinyatakan masuk Ramadhan atau Idul Fitri, sebagian menyatakan harus 4 derajat, dan masih banyak lagi. Kebingunan ini semakin rumit, ketika sebagian pihak sudah mengumumkan kapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah sejak jauh-jauh hari. Sehingga jauh hari sebelum Ramadhan datang, sudah terbayang bahwa Ramadhan tahun tersebut atau Idul Fitri tahun tersebut akan ada dua versi atau umat Islam pasti tidak barsamaan dalam berpuasa atau berhari raya.
Sebagian pihak menyayangkan situasi perpecahan tersebut. Mereka mengatakan mengapa umat Islam tidak mau sepakat berpegang pada ilmu hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri? karena hisab falaki merupakan ilmu yang sudah sangat canggih dan hasilnya akurat, tidak keliru. Sehingga hisab falaki bersifat qathi’i sementara ru`yah adalah zhanni.
Akurasi hisab falaki sebenarnya tidak diragukan lagi. Namun anggapan bahwa hisab falaki bersifat qath’i tidak bisa dibenarkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh pakar hisab dari LAPAN, “Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syari’at.”
Jadi sebenarnya, hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri tidak bisa murni, harus “disesuaikan” dengan hukum-hukum syar’i. Maka tidak bisa lepas dari kriteria-kriteria tertentu supaya sesuai dengan hukum syari’at, yang itu bersifat zhanni. Sehingga hisab falaki bukanlah suatu hal qath’i lagi, namun zhanni.
Ada beberapa kriteria hisab falaki,
1. Kriteria Ijtimak(Konjungsi)
Penjelasannya sebagai berikut, sebagaimana diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi, demikian pula Matahari dalam gerak semunya mengelilingi bumi. Peredaran Bulan lebih cepat dibanding peredaran Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, dan itu terjadi berkali-kali. Pada saat Matahari terkejar oleh Bulan dan keduanya pada posisi pada garis lurus itulah yang disebut Ijtimak (konjungsi). Menurut kriteria ini, sesaat setelah ijtima’ sudah terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati.
Tentu saja, ilmu hisab falaki dengan sangat akurat mampu menghitung peredaran Matahari dan Bulan, dan mampu menentukan secara tepat kapan ijtima’. Namun ketentuan aturan (kriteria) bahwa sesaat setelah ijtima’ itu terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati, dari mana kriteria ini? Jelas-jelas kriteria ini mengabaikan aturan syari’at bahwa hilal harus teramati oleh mata. Pakar hisab sendiri mengatakan, “Bulan baru astronomi atau ijtimak tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas bulan qamariyah.”
2. Kriteria Wujudul Hilal
Kriteria ini merupakan “penyempurna” kriteria sebelumnya. Kriteria ini menyatakan tidak cukup ijtimak, namun harus dilihat posisi Matahari dan Bulan pada senja hari setelah Ijtimak. Apabila pada senja hari tersebut Matahari tenggelam lebih dahulu, maka berarti tercapai satu kondisi bahwa Bulan sudah di atas ufuk (wujud) pada saat Matahari tenggelam, berapapun ketinggian Bulan/hilal tersebut. Maka keesokan harinya berarti telah masuk Ramadhan/Idul Fitri. Jadi yang penting menurut kriteria ini adalah posisi hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska terjadinya ijtimak. Saat itu hilal sudah wujud (ada di atas ufuk) meskipun tidak bisa teramati oleh mata. Termasuk ketika mendung sekalipun, asalkan hilal sudah di atas ufuk, maka besok sudah bisa berpuasa atau berlebaran.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa menghitung posisi Bulan/hilal ketika Matahari tenggelam. Berapapun ketinggiannya, entah 20 atau kurang, yang penting sudah di atas ufuk berarti sudah Ramadhan/Idul Fitri. Namun masalahnya, kriteria ini jelas-jelas bertabrakan dengan nash hadits. Hadits mempersyaratkan hilal harus terlihat dengan mata, tidak semata-mata posisi hilal di atas ufuk.
Maka jangan heran apabila kriteria wujudul hilal pun menuai banyak kritik dari sesama praktisi hisab. Dinilai bahwa kriteria ini sudah usang, tidak ada landasan hukumnya, dan masih banyak lagi.
3. Kriteria Imkanur Ru`yah (visibilitas hilal)
Kriteria ini tidak hanya mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska Ijtimak, namun memperhitungkan faktor-faktor lain sehingga mencapai kondisi Imkanur Ru`yah, yakni hilal memungkinkan untuk dilihat, meskipun tidak harus benar-benar terlihat. Kemudian dalam menentukan faktor-faktor imkan itulah, para ahli hisab sendiri berselisih. Ada yang mempersyaratkan ketinggian minimal 20, ada yang menyatakan minimal 40.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa memperhitungkan berapa ketinggian hilal tatkala Matahari tenggelam paska Ijtimak, apakah 60 , 50 ataukah 20. Namun bisa berselisih, misalnya jika hasilnya adalah 20, maka menurut pihak yang mempersyarakat ketinggian minimal adalah 40 maka belum masuk Ramadhan atau belum Hari Raya, sementara yang mempersyaratkan 20 maka besok sudah Puasa atau sudah Lebaran. Bingung?
Ada lagi yang memperhitungkan jarak sudut antara Matahari dan Bulan, ada lagi yang memperhitungkan lebar hilal, dan sekian faktor lainnya. Dari manakah aturan-aturan tersebut datangnya? Sementara dalam syariat hanya dituntut hilal harus benar-benar terlihat oleh mata. Tidak sekedar imkan/visible (mungkin). Jika tidak bisa terlihat, terhalang mendung atau lainnya, maka ditempuh cara istikmal, meskipun secara hisab falaki hilal mungkin untuk terlihat karena ketinggian dan umur hilal sudah memenuhi kriteria secara hisab.
Maka kelompok hisab versi lainnya pun mengkritik tajam kriteria ini. Dianggapnya bahwa kriteria imkanur ru`yah ini terlalu rumit.
Sehingga sama-sama hisab, hasil hitungan posisi hilal pasti sama, pasti tepat, pasti akurat. Namun menyikapi hasil hitungan yang akurat tersebut para ahli hisab sendiri berbeda-beda. Misalnya, ketika mendapati hasil hisab posisi hilal +010 38′ 40″ dan sebelum telah terjadi ijtimak pada pukul 11:25:24 WIB; maka kelompok hisab versi wujudul hilal ini sejak akhir bulan Rajab mereka sudah berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan. Karena menurut mereka posisi hilal yang demikian berarti hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam.
Sementara kelompok hisab versi imkanur ru`yah akan mengatakan hasil hisab tersebut menunjukkan bahwa posisi hilal sangat rendah, sehingga mustahil untuk bisa teramati. Jadi meskipun hilal sudah wujud namun belum imkan (belum memungkinkan) untuk dilihat/diru`yah.
Lain halnya dengan kelompok hisab versi ijtimak, bagi mereka adalah kapan ijtimak. Karena sudah diketahui ijtimak telah terjadi pada pukul 11:25:24 WIB maka mereka pun berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Yang kebetulan pengumuman mereka dalam hal ini sama dengan pengumuman kelompok hisab versi wujudul hilal. Namun kalau misalnya ijtimak terjadi pada pukul 6 pagi misalnya, belum tentu sama pengumuman mereka dengan pengumuman versi wujudul hilal, karena posisi hilal sore harinya masih negatif alias masih di bawah ufuk (belum wujud). Maka lihatlah, kelompok hisab pun ribut.
Apabila hilal terhalang mendung, maka menurut para ahli hisab, selama hasil perhitungannya menyatakan hilal sudah wujud, atau sudah imkan untuk dilihat tetap masuk Ramadhan. Maka jelas-jelas ini bertentangan dengan nash hadits yang mengatakan, Apabila hilal terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari)
Apabila kita mau kembali kepada bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau hanya mengajarkan kepada kita cara ru`yatul hilal atau istikmal. Beliau sama sekali tidak menganjurkan umatnya untuk menjadikan hisab falaki sebagai patokan, dalam kondisi ilmu hisab falaki sudah ada pada masa beliau, dan sangat memungkinkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Namun beliau justru bersabda,
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim 1081)
Beliau juga bersabda,
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب »
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung.
Hadits ini tidak berarti melarang umat Islam untuk belajar membaca dan menghitung. Namun makna hadits ini adalah untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, umat Islam tidak membutuhkan tulisan dan hitungan. Mereka cukup dengan syari’at yang Allah berlakukan buat mereka, yaitu menentukannya berdasarkan ru`yatul hilal. Hilal tersebut harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil/terpercaya, adapun khusus untuk Ramadhan walaupun satu saksi adil saja sudah cukup. Tidak boleh pula menjadikan ilmu hisab falaki sebagai landasan untuk menolak persaksian hilal.
Alhamdulillah, Allah memberikan taufiq kepada pemerintah negeri ini untuk senantiasa menjadikan ru`yatul hilal sebagai landasan. Sementara itu para pembela hisab terus berupaya memberikan statemen-statemen yang membenarkan hisab, di antaranya;
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Sebenarnya, statemen tersebut hanya merupakan upaya justifikasi (pembenaran) tanpa ada landasan dalil syari’at. Anggapan di atas bisa dijawab sebagai berikut,
Hisab dianggap lebih memberikan kepastian … dst. Namun ternyata pada prakteknya ternyata rumit. Karena hisab ternyata tidak bisa diterapkan secara murni, tidak lepas dari kriteria dan intepretasi, sebagaimana telah digambarkan di atas. Sehingga kepastian yang “ditawarkan” oleh hisab pun sulit terwujud.
Hisab dianggap bisa menyatukan penanggalan. Ternyata pada prakteknya juga nihil. Justru sebalik, hisab pun tidak ada kata sepakat. Antar versi justru saling menghujat dan menyalahkan.
Maka manfaat apakah yang diharapkan dari hisab, sementara cara hisab jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya dalam syari’at. Bahkan bertentangan dengan kesepakatan para Salaful Ummah. Maka sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imam Malik bahwa generasi akhir umat ini tidak akan bisa menjadi baik kecuali dengan apa yang dengan generasi awal umat ini menjadi baik. Tidak cukup membela hisabnya mereka balik mencela ru`yah, yang merupakan ketetapan syari’at. Sungguh keterlaluan!! Tidakkah mereka menyadari dengan perbuatan mereka mencela ru`yah dan mengunggulkan hisab berarti mengkritik hukum Allah, berarti mengkritik Syari’at Islam yang telah sempurna, sebagaimana Allah firmankan :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah : 3).
Al-Imam Malik rahimahullah menegaskan berdasarkan ayat tersebut bahwa sesuatu yang bukan bagian dari agama pada hari tersebut (yakni pada Nabi) maka pada hari ini pun bukan bagian dari agama. Maka sebagaimana hisab bukan bagian dari ketentuan hukum/syari’at Islam untuk penentuan awal Ramadhan pada masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam , maka pada hari ini pun hisab bukan merupakan bagian dari hukum/syari’at Islam.
Menjawab hujatan terhadap ru`yah di atas,
Ru`yah dianggap tidak bisa memastikan tanggal. … dst. Tidak ada masalah ru`yah tidak bisa memastikan tanggal. Dan praktek sistem hilal ini telah dipraktekkan oleh umat Islam sejak zaman Nabi, para khulafa`ur rasyidin, para khalifah setelahnya selama bertahun-tahun, tidak ada masalah.
Ru`yah dianggap tidak bisa menyatukan tanggal. … dst. Alhamdulillah ru`yah telah dipraktekkan oleh Umat Islam bertahun-tahun untuk menentukan Ramadhan dan Idul Fitri, dan mereka bersatu serta tidak ada masalah. Justru problem muncul tatkala sebagian pihak memunculkan ide penggunaan hisab falaki. Tanggal berbeda tidak ada masalah dalam ketentuan hukum Islam, di sana ada pembahasan mendetail dari para ‘ulama terkait hal tersebut. Yang menjadi masalah adalah penggunaan ilmu hisab falaki yang tidak ada dasarnya dalam ketentuan hukum Islam.
Banyak faktor yang mempengaruhi ru’yah. Memang benar demikian adanya, oleh karena itu faktor-faktor tersebut tidak bisa dihisab. Sementara syari’at memberikan kriteria harus benar-benar terlihat, tidak sekedar wujudnya hilal di atas ufuk atau imkan/visible-nya hilal untuk dilihat walaupun tidak benar-benar terlihat. Kalau sekedar wujud atau imkan/visible ya memang bisa dihisab. Namun, kriteria yang dikehendaki dalam syari’at adalah ru`yah alias benar-benar terlihat. Meskipun secara hisab hilal sudah wujud atau imkan, namun faktanya tidak berhasil diru`yah, atau terhalang mendung maka belum masuk Ramadhan atau Idul Fitri.
Oleh karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi ru`yah, maka ru`yah bisa berhasil bisa gagal, dan syari’at tidak mengharuskan ru`yah itu selalu berhasil. Justru syari’at memberikan alternatif ketika ru`yah gagal yaitu dengan cara istikmal. Maka menjadikan faktor geosentrik dan atmosferik sebagai poin kritik terhadap ru`yah merupakan pemutarbalikan fakta. Justru faktor tersebut merupakan di antara penghalang terbesar kenapa hisab tidak bisa dijadikan patokan untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri.
Adapun faktor halusinasi dan psikologis yang disebut-sebut sebagai penyebab kesalahan para peru`yah sebenarnya merupakan tuduhan yang dipaksakan oleh kelompok hisab. Dengan tuduhan tersebut mereka mementahkan persaksian ru`yah apabila berbeda dengan hisab. Atau sebaliknya, menihilkan faktor ini apabila bersesuaian dengan hisabnya.
Contohnya peristiwa pada Idul Fitri 1432 H / 2011 kemarin! Tatkala sampai laporan persaksian hilal, yang ketika itu hasil hisab menyebutkan ketinggian hilal hanya +010 49′ 57″. Maka kubu hisab Imkanur Ru`yah menyatakan hilal dengan ketinggian tersebut mustahil terlihat. Maka mereka menolak persaksian tersebut. Karena dinilai persaksian tersebut tidak valid, tidak ilmiah, … dst. Mengapa demikian, lagi-lagi di antaranya masalah halusinasi atau faktor psikologis para peru`yah. Sebaliknya kubu hisab wujudul hilal membela persaksian tersebut. Kata mereka, kenapa persaksian tersebut ditolak, padahal Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dulu ketika ada yang bersaksi diterima, …. dst, demikian pembelaan mereka. Sudah tidak ada lagi kekhawatiran kesalahan peru`yah karena faktor halusinasi atau faktor psikologis.
Padahal, jika kita mau objektif, masalah faktor psikologis atau halusinasi ini justru muncul karena pengaruh hisab. Karena jauh-jauh hari sudah diketahui hasil hisab, sehingga para peru`yah terpengaruh dan merasa bahwa hilal harus terlihat berdasarkan hasil hisab tersebut. Akibatnya mempengaruhi pandangan mereka tatkala melakukan observasi (proses ru`yah) di lapangan. Maka ini justru pengaruh negatif adanya hisab falaki. Sehingga menjadikan masalah ini sebagai kelemahan cara ru`yah yang ditetapkan syari’at merupakan pemutarbalikan fakta dan kesombongan!
Maka tidak ada alasan bagi kaum muslimin kecuali mereka mau kembali kepada ketetapan aturan hukum-hukum/syari’at Islam secara total. Termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu dengan cara yang telah ditetapkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, yaitu ru`yatul hilal atau istikmal.
Sebagaimana ditegaskan oleh banyak para ‘ulama – yang berkomitmen di atas prinsip-prinsip Ahlus Sunnah – di antaranya oleh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,
Pertama, meninggalkan hisab falaki
Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.
Hanya dengan dua cara tersebut Umat Islam akan bisa bersatu. Sementara sangat disayangkan, di negeri ini penggunaan hisab falaki – dengan berbagai versinya – justru banyak disuarakan oleh ormas-ormas Islam yang katanya ingin memperjuangkan dakwah Islam. Sangat disayangkan, mereka ingin memperjuangkan Islam namun dengan cara-cara yang justru bertentangan dan menginjak-injak syari’at Islam itu sendiri.
Kaum muslimin dituntukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk memulai Ramadhan dan Ber idul Fitri selalu bersama-sama dengan Jama’ah (Pemerintah) mereka. Tidak berjalan sendiri-sendiri, masing-masing menentukan Ramadhannya dan Idul Fitrinya. Namun penetapan Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha merupakan tugas dan kewenangan pemerintah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam :
« الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون »
Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah). (HR. At-Tirmidzi 697)
Maka atas segenap kaum muslimin adalah mereka mengikuti pengumuman pemerintah dalam penetapan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada pemerintah negeri untuk menjalankan sistem ru`yatul hilal atau istikmal sebagai landasan dalam mengumumkan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Alhamdulillah setiap tahunnya pemerintah senantiasa memperhatikan laporan persaksian dari berbagai titik Pos Observasi Bulan (POB) yang tersebar di sekian tempat di nusantara ini.
Apabila suatu ketika ada persaksian hilal yang ditolak oleh pemerintah, maka wewenang keputusan ada di tangan pemerintah, adapun kaum muslimin wajib mentaati keputusan pemerintah tersebut. Al-Imam Ahmad dan ‘ulama lainnya mengatakan, “Berpuasa dan beridul fitri dilaksanakan bersama penguasa dan kaum muslimin, baik ketika cerah maupun mendung.” Al-Imam juga mengatakan, “Kalau seandainya terjadi bahwa kaum muslimin berupaya melihat hilal pada malam ke-30 namun tidak berhasil, maka mereka menempuh cara istikmal 30 hari, namun ternyata kemudian sampai berita bahwa sebenarnya hilal terlihat pada sore hari malam ke-30 tersebut maka mereka mengqadha’ satu hari itu yang mereka terlanjur tidak berpuasa pada hari tersebut. Yang demikian tidak mengapa, mereka mendapat udzur bahkan mendapatkan pahala. Namun kalau seandainya mereka berpuasa berdasarkan berita dari ahli hisab, maka mereka tetap berdosa meskipun benar harinya. Karena mereka telah beramal berdasarkan sesuatu yang tidak diperintahkan.”
Sumber : Salafy.or.id

Baca Selengkapnya ....

AWAS BAHAYA AQIDAH KHAWARIJ

(Menjawab ucapan Din Syamsuddin, bahwa Kemenag Korupsi Jadi Bukan Ulil Amri)



File Audio download di sini
Suatu yang patut disyukuri, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agama diberi taufiq setiap tahunnya untuk menerapkan rukyatul hilal di sekian pos observasi hilal yang tersebar di berbagai penjuru di nusantara, guna menetapkan awal dan akhir Ramadhan.
Untuk tahun ini, Kementerian Agama menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriah jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013. “Keputusan ini dibuat berdasarkan pengamatan hilal dan rukyat di seluruh Indonesia,” kata Menteri Agama, dalam sidang itsbat penetapan 1 Ramadan 1434 Hijriah di kantor Kementerian Agama, Senin, 8 Juli 2013
Keputusan tersebut, selaras dengan keputusan mayoritas negeri-negeri lainnya. Antara lain,
  • Qatar, Arab Saudi, dan Mesir
  • Umat Islam Afrika Utara dan Afrika Barat
  • Kuwait, Irak dan Yaman
  • Tunisia dan Libya
  • Singapura, Malaysia, Brunei Darus Salam dan Australia
Negeri-negeri tersebut memutuskan hari Rabu sebagai awal Ramadhan 1434 H. Keputusan itu diambil setelah hilal awal Ramadhan 1434 H tidak terlihat di masing-masing negara tersebut.
Namun sayang, salah satu Ormas Islam di negeri ini, menentang keputusan tersebut. Bahkan lebih dari itu, berani lancang menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsudin menyatakan Kementerian Agama tak pantas dianggap sebagai ulil amri lantaran melakukan korupsi.
“Kalau kementerian agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada kementerian yang korup, Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits; janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,” tegasnya. Senin, 08 Jul 2013.
Sungguh sangat kita sayangkan ucapan yang muncul dari Ketua Umum salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini tersebut. Ucapan yang mengarah kepada aqidah dan cara-cara Khawarij, yaitu menyatakan keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang dinilai telah banyak melakukan kezhaliman, kemaksiatan, dan berbagai kemungkaran lainnya. Jelas ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah!
Memang kita tidak menutup mata adanya kezhaliman, kemungkaran, dan korup pada pemerintah kita. Namun dalam prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah hal tersebut tidak berarti kemudian merekomendasi untuk keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Tentu kita semua mengharapkan pemerintah yang adil. Kita senantiasa mendoakan pemerintah Indonesia agar berjalan di atas bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah, menghilangkan berbagai korupsi, kezhaliman, dan kemungkaran yang terjadi. Termasuk dalam hal ini kementrian agama. Ketaatan kita kepada pemerintah yang zhalim dan korup tidak berarti kita ridho terhadap kezhaliman dan kekorupannya. Namun pengingkaran kita terhadap berbagai kemungkaran pada pemerintah tersebut tidak berarti kita keluar dari ketaatan kepadanya.
PRINSIP AHLUS SUNNAH TERKAIT DENGAN KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (Pemerintah Islam)
1. Ahlus Sunnah berkeyakinan wajibnya mentaati ulil amri. Berdasarkan :
- Firman Allah Ta’ala :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم} [النساء: 59]
Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’ : 59)
- Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»
Dengar dan taatilah (ulil amri), meskipun yang diangkat adalah seorang budak habasyi seakan-akan kepalanya adalah biji anggur.” (HR. Al-Bukhari 693)
«أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا»
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan mendengar dan taat (kepada ulil amri), meskipun (yang menjadi ulil amri) adalah seorang budak habasyi.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676)
2. Ketaatan Kepada ulil amri tersebut wajib, baik dalam perkara yang kita sukai ataupun dalam perkara yang kita benci, selama ulil amri tersebut masih muslim
«أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
“Kami berbaiat (kepada Rasulullah) untuk mendengar dan mentaati (ulil amri), baik dalam kondisi kami senang atau benci, baik dalam kondisi lapang maupun sulit, dan walaupun mereka menghalangi hak-hak kami. Dan kami berbaiat untuk tidak mencabut kepemimpinan tersebut dari orang yang memegangnya, kecuali jika kalian melihat (mendapati) kekufuran yang nyata (pada ulil amri tersebut) yang kalian memiliki bukti dari Allah tentang kekufurannya.” (Al-Bukhari 7056, Muslim 1079)
3. Ketaatan kepada ulil amri tersebut wajib, baik ulil amri itu adil maupun zhalim/banyak melakukan kemungkaran.
«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ»
“Sesungguhnya kalian akan melihat sepeninggalku atsarah (yakni korup) dan berbagai perkara yang kalian mengingkarinya.” Wahai Rasulullah kalau begitu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah menjawab, “Tunaikanlah kepada mereka (ulil amri) hak mereka (yakni taatilah mereka), dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Al-Bukhari 7052, Muslim 1843).
Menjelaskan hadits di atas, an-Nawawi rahimahullah mengatakan,
“berita ini merupakan salah satu mukjizat kenabian. Berita ini telah terjadi berulang-ulang, dan peristiwa tersebut didapati berkali-kali. Pada hadits tersebut terdapat dorongan untuk tetap mendengar dan mentaati (ulil amri) meskipun ulil amri-nya adalah seorang yang zhalim dan sangat lalim. Maka ulil amri tersebut tetap wajib ditunaikan haknya, yaitu ketaatan kepadanya, tidak memberontak terhadapnya dan tidak melepaskan (ketaatan) kepadanya. Namun (yang semestinya dilakukan adalah) memohon kepada Allah dalam menghilangkan gangguannya (kezhalimannya), mencegah kejelekannya, dan memperbaikinya.” (lihat Syarh Muslim no. 1843)
Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggambarkan kezhaliman ulil amri, namun demikian tetap wajib mentaatinya, yaitu dalam hadits berikut,
«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
 “Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengambil sunnahku. Dan akan muncul di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia.” Aku bertanya, “Apa yang harus aku perbuat apabila aku mendapati itu?” Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau mendengar dan mentaati pimpinan meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat!!” (Muslim 1847)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Pada hadits ini terdapat dalil untuk senantiasa konsisten bersama pemerintah muslimin dan pimpinannya, serta kewajiban mentaati mereka meskipun mereka berbuat fasik dan melakukan kemaksiatan berupa merampas harta dan yang lainnya. Maka wajib mentaati mereka dalam perkara selain maksiat.”
4. Tidak Boleh Taat kepada ulil amri ketika diperintah kepada Kemaksiatan
«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»
“Wajib untuk mendengar dan mentaati (ulil amri) atas seorang muslim, baik dalam perkara yang ia sukai atau ia benci, selama ia tidak diperintah dengan kemaksiatan. Apabila diperintah untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Al-Bukhari 7144).
Yakni tidak mentaati perintah berbuat maksiat tersebut. Bukan berarti kemudian keluar dari ketaatan kepada ulil amri secara total, atau menentang dan memberontak kepadanya. Tidak demikian. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan,
«مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barangsiapa mendapat pada pimpinannya sesuatu (kemungkaran/kemungkaran) sehingga diapun membencinya, maka hendaknya dia bersabar (yakni tidak keluar dari ketaatan). Karena tidaklah seorangpun berpisah dari jama’ah (kaum muslimin) walaupun sejengkal saja, kemudian dia mati, kecuali matinya adalah kematian jahiliyyah.” (al-Bukhari 7143)
5. Apabila terjadi kemungkaran pada ulil amri, maka rakyat menasehatinya secara rahasia. Bukan menentangnya, atau memprotesnya di atas mimbar, atau berdemo, atau bahkan memberontaknya.
Hal ini sebagaimana bimbingan baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“مَنْ أَرَاَد أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً، وَلَكِن يَأْخُذُ بِيَدِهِ، فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيهِ”
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang yang memiliki kekuasaan, maka janganlah menyampaikannya secara terang-terangan. Namun hendaknya dia mengambil tangannya, dan menyendiri dengannya. Apabila ia (penguasa tersebut) mau menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan). Apabila tidak, maka dia telah melaksanakan kewajibannya (untuk menasehati penguasa).” (Ibnu Abi ‘Ashim hal. 508).
MENGKRITISI UCAPAN PAK DIN SYAMSUDDIN
Setelah kita membaca keterangan di atas, maka kita bandingkan dengan ucapan pimpinan ormas Islam di atas,
“Kalau Kementerian Agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada Kementerian yang korup. Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits: ‘Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,”
  • Perhatikan ucapan di atas. ["masa kita harus taat pada Kementerian yang korup"] memang kita tidak menutup mata adanya korup dan kemungkaran pada pemerintah Indonesia. Maka kita wajib mengingkari kemungkaran-kemungkaran tersebut. Namun bukan berarti kita menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Karena selama pemerintah masih muslim, maka ketaatan kepada mereka tetap wajib.
  • ["Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri."] Tidak demikian wahai Pak Din Syamsuddin. Memang benar korup merupakan tindak kemaksiatan. Namun kemaksiatan tersebut tidak berarti membuat status sebagai ulil amri gugur. Tidak demikian. Perhatikan sekali lagi hadits-hadits di atas.
  • Bahkan lebih para lagi, Din Syamsuddin mengatakan, ["Kalau ulil amri itu menurut pemahaman kami, ulil amri itu bukan pemerintah tetapi yang mempunyai otoritas masing-masing,"] maka ini merupakan pemahaman yang menyimpang dari prinsip Ahlus Sunnah.
  • ["Bahkan ada hadits: 'Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah".] Memang kita tidak boleh mentaati pemerintah yang memerintahkan kita untuk bermaksiat, namun tidak berarti menyatakan keluar dari ketaatan kepadanya secara total. Sikap tidak taat kita kepada salah satu perintah yang bersifat maksiat itu bukan kemudian merekomendasi kita untuk keluar dari ketaatan dari ulil amri secara total atau membolehkan kita untu menentang ulil amri secara provokatif dan demonstratif, yang demikian justru akan memperkeruh suasana dan melemahkan stabiltas keamanan.
Kemudian kita bertanya kepada bapak Din Syamsudin, “Kemaksiatan apakah yang diperintahkan kepadamu oleh ulil amri?”
Konteks permasalahan sehingga menyebabkan munculnya pernyataan Din di atas adalah permasalah polemik rukyah – hisab.
“Sidang isbat itu artinya penetapan, tapi dengan pendekatan sepihak, yang namanya rukyat, sementara yang menggunakan perhitungan (hisab) tidak dianggap, jadi tidak ada gunanya,” kata Din Syamsudin.
Ketika ulil amri meminta anda (dan ormas yang anda pimpin) untuk menghadiri sidang itsbat penetapan awal Ramadhan berdasarkan rukyah, apakah anda diperintah oleh ulil amri untuk bermaksiat? Ataukah itu adalah perintah untuk ketaatan, yaitu melaksanakan rukyatul hilal yang itu selaras dengan bimbingan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tentu saja jawabannya: perintah tersebut adalah perintah ketaatan.
Kemudian, bukankah cara hisab yang selama ini anda serukan dan pertahankan, itu merupakan kemungkaran dan bid’ah yang jelas-jelas bertentangan dengan perintah baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Permasalahan ini telah kami jelaskan dalam tulisan kami berjudul “Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Ru’yatul Hilal atau Hisab Falaki?”)
Cara hisab yang anda serukan di samping merupakan kemungkaran dan bid’ah, juga merupakan sebab yang melanggengkan perpecahan umat, terkhusus dalam penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri.
Maka sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,
Pertama, meninggalkan hisab falaki
Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.
Demikian tulisan singkat ini. Semoga bisa menjadi nasehat.
وفق الله الجميع لما يحبه ويرضاه. وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

Sumber: http://mahad-assalafy.com/2013/07/11/awas-bahaya-aqidah-khawarij/

Baca Selengkapnya ....
 
Free Website templatesRiad in FesFree Flash TemplatesFree joomla templatesCréation site internetConception site internetMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates