Keutamaan dan Manfaat Puasa
Segala puji bagi Allah ta’ala
Dzat yang telah memberikan anugerah, taufiq dan kenikmatan. Dia-lah
yang telah mensyari’atkan kepada hamba-Nya di bulan Ramadhan tersebut
untuk melaksanakan ibadah puasa dan menegakkan pada malam harinya dengan
shalat malam (tarawih), satu kali dalam tiap tahunnya. Allah ta’ala
telah menjadikan syariat puasa tersebut sebagai salah satu rukun Islam
dan pondasinya yang agung serta menjadikannya sebagai pembersih jiwa
dari kotoran dosa-dosa. Shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan
kepada Nabi Muhammad yang Allah ta’ala telah memilihnya (di
antara hamba-hamba-Nya) untuk menjelaskan hukum-hukum Allah dan
menyampaikan syariat Allah Ta’ala kepada manusia.
Beliau adalah seorang yang paling baik dalam hal
puasa dan shalat malamnya. Dan beliau adalah seorang yang dapat
menyempurnakan peribadahan kepada Allah serta beristiqamah di atasnya.
Shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan pula kepada keluarganya dan
para sahabatnya yang mulia serta kepada segenap pengikutnya yang
mengikuti jejak langkah beliau dengan baik. Amma ba’du.
Sesungguhnya Allah ta’ala
telah mewajibkan syariat puasa kepada setiap umat walaupun di sana
terdapat perbedaan dalam hal bentuk pelaksanaan dan waktunya. Allah ta’ala berfirman
﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan
berpuasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat
sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al Baqarah: 183)
Pada tahun kedua hijriyyah, Allah ta’ala
mewajibkan kepada umat ini puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada setiap
muslim yang baligh. Jika seseorang berada pada kondisi yang sehat dan
mukim (tidak dalam keadaan safar), maka wajib baginya melaksanakan puasa
tersebut. Jika seseorang sedang dalam keadaan sakit (boleh baginya
untuk tidak berpuasa) wajib atasnya untuk mengganti hari-hari puasa yang
dia tinggalkan. Demikian pula dengan keadaan seorang wanita yang sedang
dalam keadaan haid dan nifas, wajib baginya untuk mengganti hari-hari
puasa yang dia tinggalkan. Dan kalau seseorang tersebut dalam kondisi
sehat dan sedang melakukan perjalanan (safar), maka dia mendapatkan
keringanan antara tetap berpuasa atau tidak berpuasa dan menggantinya di
hari yang lain.
Allah subhanahu wata’ala telah
memerintahkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh mulai dari awal
sampai akhir bulan. Dan Allah Ta’ala telah memberikan batasan awal
mulainya puasa dengan batasan yang jelas yang tidak tersamarkan oleh
seorangpun yaitu dengan ru’yatul hilal (melihat hilal) atau menyempurnakan jumlah hari pada bulan Sya’ban menjadi 30 hari berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat
hilal, dan janganlah kalian beridul fithri sampai kalian melihat
hilal. Maka jika langit terlihat mendung sehingga hilal tidak nampak
maka perkirakanlah.(Muttafqun ‘Alaihi).
Sebagaimana Allah ta’ala telah memberikan batasan hari dimulainya awal puasa dengan batasan yang jelas, Allah ta’ala
juga telah menjadikan batasan yang jelas kapan saat dimulainya berpuasa
yaitu sejak terbitnya fajar yang kedua, dan memberikan batasan akhir
puasa adalah dengan terbenamnya matahari. Sebagaimana firman Allah ta’ala
﴿وَكُلُواْ
وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى
الَّليْلِ﴾
Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi
kalian perbedaan antara benang putih dan benang yang hitam dari fajar
kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.(Al Baqarah: 187)
Dengan bentuk dan waktu pelaksanaan seperti ini Allah ta’ala telah menetapkan kewajibannya secara pasti di dalam firman-Nya
﴿فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾
Maka barangsiapa di antara kalian menemui bulan Ramadhan maka wajib baginya untuk berpuasa. (Al Baqarah: 185)
Puasa merupakan salah satu rukun dari
rukun-rukun Islam. Maka barangsiapa yang menentang dan mengingkari
kewajibannya maka sungguh dia telah keluar dari agama Islam dan wajib
atasnya untuk dimintai taubat. Jika dia mau bertaubat maka diterima
kembali keislamannya, dan jika dia tidak mau bertaubat maka dia dibunuh
sebagai hukuman atas kekafirannya.
Barangsiapa yang meyakini kewajiban
puasa dan dia sengaja berbuka dengan tanpa ‘udzur yang syar’i maka
sungguh dia telah melakukan salah satu bentuk dosa besar yang berhak
baginya untuk mendapatkan celaan dan hukuman.
Inilah wahai para pembaca sekalian, Allah ta’ala
telah memberikan keistimewaan pada bulan Ramadhan ini dengan
keistimewaan yang banyak dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya.
Dan Allah ta’ala juga mengkhususkan ibadah puasa merupakan
bentuk ketaatan yang memiliki keutamaan yang sangat banyak,
faidah-faidah yang bermanfaat, dan adab-adab yang mulia.
Keistimewaan Bulan Ramadhan
Dan termasuk dari keistimewaan-keistimewaan bulan Ramadhan adalah sebagai berikut:
- Pada bulan tersebut diwajibkannya puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan rukun yang keempat dari rukun-rukun Islam dan merupakan pondasi Islam yang agung berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
بُنِيَ
الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولَ الله، وَإِقامِ الصَّلاةِ، وَإيتَاءِ الزَّكاةِ،
وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ البَيْتِ الحَرَامِ
Islam dibangun di atas 5 pondasi (rukun) :
Persaksian bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya
Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji ke
Baitullah.(Muttafaqun ‘Alaihi)
Hal ini termasuk dari perkara agama yang
telah diketahui secara umum dan telah disepakati oleh kaum muslimin
seluruhnya bahwasanya ibadah puasa termasuk dari ibadah yang wajib dari
kewajiban-kewajiban yang Allah ta’ala wajibkan kepada setiap muslim.
- Kewajiban melaksanakan ibadah puasa Ramadhan atas umat ini bersifat fardhu ‘ain, yaitu wajib bagi setiap individu muslim untuk melaksanakannya. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
﴿فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾
Maka barangsiapa diantara kalian menemui bulan Ramadhan maka wajib baginya untuk berpuasa. (Al Baqarah: 185)
- Pada bulan tersebut diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan (kesesatan) kepada cahaya (petunjuk), menunjuki manusia kepada jalan kebenaran dan bimbingan yang mulia, serta akan menjauhkan manusia dari jalan yang menyimpang dan penuh kesesatan. Dengan Al Qur’an tersebut juga akan memberikan bashirah (ilmu) pada perkara-perkara agama dan dunia mereka dengan jaminan mereka akan mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan baik yang disegerakan di dunia ataupun ditunda di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ﴾
Bulan Ramadhan yang telah diturunkan di
dalamnya Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelas
dari petunjuk dan pembeda. (Al Baqarah: 185)
- Pada bulan tersebut dibuka pintu-pintu Al Jannah karena banyaknya amalan-amalan shalih yang disyariatkan pada bulan Ramadhan yang akan memasukkan pelakunya ke dalam Al Jannah. Dan pada bulan tersebut ditutup pintu-pintu An Naar karena sedikitnya orang yang berbuat maksiat dan dosa-dosa yang akan memasukkan pelakunya ke dalam An Naar.
- Pada bulan tersebut para setan dibelenggu dan diikat sehingga kekuatannya menjadi lemah untuk bisa menyesatkan orang-orang yang taat dan memalingkan mereka dari amalan yang shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Jika telah datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu Al Jannah dan ditutuplah pintu-pintu An Naar dan para setan dibelenggu. (HR. Bukhari, Muslim, An Nasa’i).
- Pada bulan tersebut Allah ta’ala memiliki hamba-hamba yang akan dibebaskan dari An Naar. berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّ لِلَّهِ تبارك وتعالى عِنْدَ كُلِّ فِطْرٍ عُتَقَاءَ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ في كُلِّ لَيْلَةٍ
Sesungguhnya Allah tabaraka wata’ala setiap
kali saat berbuka memiliki hamba-hamba yang berhak untuk dibebaskan dari
An Naar, yang demikian itu terjadi pada setiap malam. (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dihasankan Asy Syaikh Al Albani).
- Pada bulan tersebut Allah Ta’ala melimpahkan ampunan kepada orang-orang yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan keimanan yang jujur dan mengharapkan pahala di sisi Allah ta’ala berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh
keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala maka dia akan
diampuni dari dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi).
- Pada bulan tersebut disunnahkan untuk melaksanakan ibadah shalat tarawih dalam rangka mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang menegakkan shalat malam
(tarawih) pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala dari Allah Ta’ala maka dia akan diampuni dari dosa-dosanya yang
telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi).
- Pada bulan tersebut terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan dan barangsiapa yang dia menghidupkan malam tersebut maka dia akan mendapatkan ampunan dari Allah ta’ala, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
إنَّ
هَذاَ الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَة خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ
خَيْرُهَا إِلا مَحْرُومٌ
Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) telah datang
kepada kalian. Dan terdapat di dalamnya satu malam yang lebih baik dari
1000 bulan. Barangsiapa yang diharamkan dari mendapatkan malam tersebut
maka sungguh dia telah diharamkan dari kebaikan seluruhnya dan tidaklah
diharamkan dari mendapatkan kebaikan malam tersebut kecuali mereka yang
memang diharamkan untuk mendapatkannya.(HR. Ibnu Majah, Asy Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul
Qadr dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala
maka dia akan diampuni dari dosa-dosanya yang telah lalu.(Muttafaqun ‘Alaihi)
- Bahwasanya ibadah puasa Ramadhan yang dilakukan pada tahun ini dan tahun sebelumnya akan menghapuskan dosa-dosa kecil yang dilakukan di antara keduanya dengan syarat dia harus menjauhi dosa-dosa besar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
الصَّلَوَاتُ
الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى
رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ ما بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
Shalat-shalat yang lima waktu, shalat Jum’at
yang satu ke Jum’at yang berikutnya, dan puasa Ramadhan yang satu ke
Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa kecil di antara keduanya
jika ia meninggalkan dosa-dosa besar. (HR. Muslim, Ahmad).
Lebih dari itu, yang menunjukkan
keistimewaan bulan Ramadhan, bahwasanya di bulan tersebut pernah terjadi
beberapa peristiwa penting seperti perang Badr Kubra yang dengannya
terbedakan antara Al Haq dengan Al Bathil. Pada perang tersebut Allah ta’ala
menolong Islam dan kaum muslimin serta menghancurkan kesyirikan dan
kaum musyrikin. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun kedua Hijriyyah.
Demikian pula pada bulan Ramadhan terjadi Fathu Makkah dan ketika itu
manusia masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong, dihancurkannya
kesyirikan dan patung-patung berhala dengan keutamaan dari Allah Ta’ala.
Maka sejak saat itulah kota Makkah menjadi negeri kaum muslimin setelah
sebelumnya menjadi sarang kesyirikan dan kaum musyrikin. Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun kedelapan Hijriyyah. Demikian pula pada
bulan Ramadhan tahun 584 Hijriyyah, Allah ta’ala memberikan
pertolongan-Nya kepada kaum muslimin di medan pertempuran Hithin dan
berhasil mengalahkan kaum salibis (Nasrani) pada pertempuran tersebut,
sehingga Baitul Maqdis kembali ke pangkuan kaum muslimin. Dan juga pada
bulan Ramadhan tahun 658 Hijriyah, Allah Ta’ala memberikan pertolongan
kepada kaum muslimin untuk mengalahkan sejumlah besar pasukan Tartar.
Inilah gambaran secara umum dari
keistimewaan bulan Ramadhan dan keutamaan-keutamaannya yang banyak serta
barakahnya yang melimpah. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Keutamaan-keutamaan Puasa
Adapun keutamaan puasa banyak sekali, di antaranya adalah:
- Dilipatgandakannya kebaikan (pahala) suatu amalan dengan tanpa batas, sementara amalan-amalan yang lain dilipatgandakan pahalanya oleh Allah ta’ala sebanyak 10 sampai 700 kali lipat sebagaimana diriwayatkan oleh Al Iam Bukhari dan Al Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ بعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى مَا شَاءَ اللهُ يقُولَ اللَّهُ تَعَالَى:
إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ
وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِى، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ
عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوفُ فَمِ
الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Setiap amalan anak Adam dilipatgandakan
pahalanya sebanyak 10 sampai 700 kali lipat sesuai yang dikehendaki oleh
Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman: kecuali puasa maka sesungguhnya
puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Seseorang dia
meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku. Bagi orang yang
berpuasa ada dua kegembiraan: gembira ketika berbuka dan gembira ketika
bertemu dengan Rabbnya. Dan bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah
adalah lebih harum dari bau minyak wangi misik. (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).
Maka jelaslah dari hadits ini bahwasanya
Allah mengkhususkan puasa untuk diri-Nya daripada amalan-amalan yang
lain. Dan Allah mengkhususkan amalan puasa tersebut dengan
dilipatgandakannya pahala suatu amalan -sebagaimana yang telah lalu-,
dan bahwasanya keikhlasan dalam puasa adalah jauh lebih mendalam
nilainya dibanding amalan-amalan yang lain sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِى
Dia meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku.
Sebagaimana pula Allah subhanahu wata’ala
memberikan balasan berikutnya bagi orang yang berpuasa dengan
kegembiraan di dunia dan akhirat yaitu kegembiraan yang terpuji
dikarenakan dia telah melaksanakan ketaatan kepada Allah ta’ala, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam ayat-Nya
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ﴾
Katakanlah dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka dengan sebab yang demikian bergembiralah. (Yunus: 58)
Sebagaimana diambil pula faidah bahwa suatu
ketaatan yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu, maka itu menunjukkan
sesuatu yang dicintai oleh Allah ta’ala, sebagai misal adalah apa yang didapatkan dari orang yang berpuasa dari bau mulutnya yang berubah dengan sebab puasa.
- Dan di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya puasa akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat dan akan menutupinya dari dosa-dosa dan syahwat yang membahayakan serta akan menjaganya dari An Naar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
الصِّيَامُ
وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ
الصِّيَامُ: أَي رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَة فَشَفِّعْنِى
فِيهِ. وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ
فَشَفِّعْنِى فِيهِ. قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
Puasa dan Al Qur’an keduanya akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat, berkata puasa : Wahai Rabbku aku telah menahannya dari makanan dan syahwat, maka berilah syafa’at kepadanya, dan berkata Al Qur’an
: Aku telah menahannya dari tidur pada malam hari maka berilah syafa’at
kepadanya. Maka keduanya diberi izin oleh Allah untuk memberikan
syafaat.(HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
الصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَحِصْنٌ حَصِينٌ مِنَ النَّارِ
Puasa adalah sebagai tameng dan akan membentengi pelakunya dari An Naar. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).
- Dan di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya doa orang yang berpuasa itu dikabulkan oleh Allah ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً
Dan sesungguhnya bagi setiap muslim pada setiap siang dan malam memiliki doa yang dikabulkan oleh Allah ta’ala. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).
Dan telah disebutkan pada pertengahan
ayat-ayat puasa (yakni Al Baqarah ayat 183 sampai 187) yang memberikan
dorongan kepada orang yang berpuasa untuk memperbanyak doa dalam
firman-Nya
﴿وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ﴾
Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku
maka katakanlah: sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa seseorang
jika dia berdoa kepada-Ku. (Al Baqarah: 186)
- Dan di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya dengan akan menjauhkan pelakunya dari An Naar pada hari kiamat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللَّهُ
بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
Tidaklah seorang hamba yang berpuasa satu hari
di jalan Allah kecuali Allah akan jauhkan dia pada hari tersebut
wajahnya dari An Naar sejauh perjalanan selama 70 musim.(HR. Muslim, An Nasa’i, Ad Darimi).
- Dan di antara keutamaan puasa adalah dikhususkannya bagi orang yang berpuasa dengan salah satu pintu dari pintu-pintu Al Jannah yang mereka akan masuk ke dalamnya tanpa selain mereka sebagai bentuk pemuliaan dan sebagai balasan atas ibadah puasa yang mereka lakukan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّ
فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ
الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ
يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُومُونَ، فَيَدْخُلُونَ، فَإِذَا
دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
Sesungguhnya di Al Jannah ada sebuah pintu yang
dinamakan dengan Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa masuk melalui
pintu tersebut pada hari kiamat, yang tidak akan masuk ke dalamnya
selain orang-orang yang berpuasa, maka kemudian dikatakan : mana
orang-orang yang berpuasa? maka bangkitlah orang-orang yang berpuasa dan
merekapun memasukinya. Dan jika mereka telah masuk ke dalamnya,
ditutuplah pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk ke dalamnya
seorangpun. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Manfaat Puasa
Adapun manfaat-manfaat puasa adalah
sangat besar pengaruhnya di dalam mensucikan jiwa dan mendidik akhlak
serta memberikan kesehatan pada badan. Dan di antara manfaat puasa
adalah melatih dan membiasakan jiwa untuk sabar, menahan dirinya untuk
meninggalkan sesuatu yang biasa dilakukan, meninggalkan syahwat yang dia
inginkan. Dengan puasa akan dapat menghentikan dan mengalahkan hawa
nafsunya yang selalu menyeru kepada kejelekan.
Seorang yang berpuasa akan bisa menahan
diri dari syahwatnya untuk membantu dia dalam mencari puncak
kebahagiaan dan menerima sesuatu yang bisa membersihkan dirinya (berupa
kebaikan) yang dengan itu akan menentukan dia di kehidupannya yang abadi
nanti. Maka semakin sempitlah jalan-jalan setan dengan semakin
sedikitnya porsi makan dan minum, jiwanya akan diingatkan dengan keadaan
orang-orang yang lapar dari kalangan orang orang miskin, meninggalkan
sesuatu yang dia sukai dari hal-hal yang membatalkan puasa karena
cintanya kepada Rabbul ‘Alamin. Dan inilah rahasia antara seorang hamba dan sesembahannya, itulah hakikat dari puasa dan tujuannya.
Dan di antara manfaat berpuasa adalah
dapat membuat hati manusia menjadi luluh dan mudah untuk mengingat
Allah, sehingga Allah akan memudahkan pula baginya untuk menempuh
jalan-jalan ketaatan.
Dan di antara manfaat puasa adalah
bahwa puasa akan menjadikan hati manusia untuk bertakwa kepada Allah dan
dapat melemahkan syahwat yang ada pada dirinya. Allah ta’ala berfirman
﴿لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
Agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa. (Al Baqarah: 183)
Tujuan diwajibkannya berpuasa karena
itu merupakan sebab ketakwaan, karena dengan puasa akan mepersempit
ruang gerak syahwatnya dan bahkan bisa tersingkir dari dirinya. Manakala
seseorang sedikit makannya, maka keinginan syahwatnya pun akan melemah,
dan manakala keinginan syahwatnya lemah, maka akan kecil pula
kecenderungannya untuk berbuat maksiat.
Dan di antara manfaat puasa dari
tinjauan medis adalah bahwa dengan berpuasa dapat berpengaruh pada
kesehatan tubuh manusia karena dengan berpuasa seseorang akan
terlindungi tubuhnya dari berbagai macam zat yang terkandung dalam
makanan yang bisa menyebabkan berbagai penyakit, dan karena puasanya
pula -dengan izin Allah- akan terjagalah kesehatan organ-organ luar dan
organ-organ dalam tubuh sebagaimana hal ini telah diakui oleh para
dokter.
ADAB-ADAB BERPUASA
Ada beberapa adab yang seharusnya
dimiliki oleh orang yang menjalankan ibadah puasa agar tercapai hasil
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang dapat mengantarkan
kepada tujuan dari puasa itu sendiri. Hal tersebut (penting untuk
dimiliki) dalam rangka mendidik jiwa manusia dan membersihkannya dari
kotoran rohani. Maka orang yang berpuasa hendaklah bersungguh-sungguh
untuk melaksanakan adab-adab tersebut serta menjaganya secara sempurna.
Karena kesempurnaan puasa seseorang bisa diraih dengan melaksanakan
adab-adab tersebut dan kenikmatan menjalankan puasa sangat ditentukan
dengannya.
Di antara adab-adab syar’i yang harus dijaga ketika berpuasa adalah:
Pertama
Menyambut bulan Ramadhan dengan penuh
kegembiraan dan rindu akan kedatangannya, karena puasa merupakan salah
satu keutamaan dan rahmat Allah bagi umat manusia yang terkandung dalam
ajaran Islam ini.
Allah ta’ala berfirman
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ﴾
Katakanlah (kepada kaum mu’minin wahai
Muhammad) dengan keutamaan yang Allah berikan dan rahmat-Nya hendaklah
membuat kalian gembira karena hal tersebut lebih utama dari harta yang
kalian kumpulkan. (Yunus: 85)
Dan hendaknya juga memuji Allah karena bisa berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan, memohon kepada Allah ta’ala agar
diberi pertolongan dalam menjalankan ibadah puasa, serta meperbanyak
amal shaleh pada bulan itu. Sebagaimana juga disunnahkan untuk berdo’a
ketika melihat hilal pada setiap tahunnya berdasarkan hadits Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila beliau melihat hilal beliau mengucapkan
اللهُ
أَكْبَر، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ
وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا تُحِبُّ وَترْضَى
رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ
Allah Maha Besar, Ya Allah mudahkanlah kami
melihat hilal dengan penuh rasa aman, dan di atas keimanan dan
keselamatan, serta di atas Islam dan petunjuk-Mu, sebagaimana yang
Engkau cintai dan ridhai. Rabb kami dan Rabb kamu (wahai hilal)adalah
Allah. (HR. At Tirmidzi, Ad Darimi, Al Baghawi, berkata Asy Syaikh Al Albani: Shahih bisyawahidihi)
Hendaknya tidak menghadap hilal ketika
memanjatkan do’a tersebut dan tidak pula mengangkat kepalanya ke arah
hilal dan tidak pula berdiri tegak untuk memuliakannya, tetapi berdo’a
dengan cara menghadapkan diri sebagaimana ketika shalat.
Kedua
Termasuk adab yang penting diperhatikan
adalah agar tidak berpuasa sebelum benar-benar jelas apakah telah masuk
bulan Ramadhan, dan tidak pula berpuasa setelah selesainya bulan
Ramadhan dengan keyakinan masih termasuk bagian bulan Ramadhan. Maka
wajib bagi seseorang berpuasa sesuai waktu yang telah ditentukan dalam
syariat ini, tidak mendahului dan tidak pula mengundurkannya berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat
hilal (Ramadhan), dan janganlah kalian ber-’iedul fitri sampai kalian
melihat hilal (Syawwal) (Muttafaqun ‘Alaihi)
Juga berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
إِذَا رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Apabila kalian telah melihat hilal (Ramadhan)
maka berpuasalah dan apabila kalian telah melihat hilal (Syawwal) maka
ber-’iedul fitrilah. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Ketiga
Senantiasa berupaya untuk makan sahur
agar memperolah barakahnya dan disunnahkan untuk mengakhirkannya
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِِ بَرَكَةً
Bersahurlah kalian karena dalam sahur itu ada barakah. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan telah disebutkan pula keutamaan dan barakahnya sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
البَرَكَةُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الجَمَاعَةِ وَالثَّرِيدِ وَالسَّحُورِ
Barakah itu ada pada tiga perkara: (1) al
jama’ah, (2) tsarid (sejenis roti yang dihancurkan dan dimasukkan dalam
kuah), dan (3) sahur. (Al Mundziri menisbahkan hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani, Al Baihaqi, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Demikian pula dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى المُتَسَحِّرِين
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur. (HR. Ath Thabarani, Ibnu Hibban, dihasankan Asy Syaikh Al Albani)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
menjadikan makan sahur itu sebagai pembeda antara puasanya umat Islam
dengan puasanya ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Beliau bersabda
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Pembeda antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah adanya makan sahur. (HR. Muslim, At Tirmidzi, Abu Dawud, An Nasa’i)
Dan yang lebih utama bagi orang yang hendak berpuasa adalah bersahur dengan kurma, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
نِعْمَ سَحُورِ المُؤْمِنِ التَّمْرُ
Sebaik-baik makan sahur seorang mu’min adalah dengan kurma. (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Apabila tidak bisa bersahur dengan
kurma maka hendaknya tetap berusaha untuk bersahur walaupun dengan
seteguk air. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ
Bersahurlah kalian walaupun hanya dengan seteguk air. (HR. Ibnu Hibban, Asy Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih)
Waktu sahur dimulai sebelum terbitnya fajar (shadiq) dan berakhir ketika telah jelas benang putih dari benang hitam, yakni fajar (Shadiq).
Jika azdan telah terdengar sementara
bejana (tempat minuman/makanan) masih ada di tangan, atau dalam keadaan
sedang makan, maka boleh baginya untuk menyelesaikan makan dan minumnya
sampai kebutuhnnya tersebut terpenuhi. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ فِي يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Apabila salah seorang di antara kalian ada yang
mendengar adzan subuh sementara tempat minuman/makanan masih ada di
tangannya maka janganlah ia meninggalkan (makan/minumnya)sampai
terpenuhi kebutuhannya itu. (HR. Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi, Ahmad, Asy Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih)
Maka kemudahan yang disebutkan dalam hadits ini menunjukkan batilnya kebid’ahan (apa yang diistilahkan dengan) imsak
sebelum masuknya fajar sekitar sepuluh menit atau seperempat jam.
Menetapkan ibadah puasa atas dasar waktu imsak yang diada-akan seperti
ini dengan dalih adanya kekhwatiran terhadap orang-orang yang mendapati
adzan subuh dalam keadaan masih makan sahur merupakan perkara yang tidak
ada asalnya dalam syari’at ini dan bukan pula termasuk bagian dari
adab-adab berpuasa. Demikianlah yang telah dituntunkan. Dan disunnahkan
mengakhirkan makan sahur berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
إِنَّا
مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعَجيِلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيرِ
َسُحُورِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِي الصَّلاَةِ
Sesunggunya kami para nabi diperintahkan untuk
menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur dan untuk
meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat. (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Dan termasuk yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
adalah mengakhirkan makan sahur (sebelum masuk waktu shubuh selama)
sekitar bacaan lima puluh ayat yang sedang, tidak terlalu panjang dan
tidak terlalu pendek. Anas radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata
تَسَحَّرْنَا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ
إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحور؟ قَالَ:
قَدْرَ خَمْسِينَ آيَةً
Kami pernah makan sahur bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, kemudian beliau berdiri untuk
shalat shubuh, maka aku bertanya kepadanya : Berapa waktunya antara
adzan shubuh dan bersahur? Beliau menjawab : Sekitar bacaan lima puluh
ayat. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan juga kebiasaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum adalah mereka mengakhirkan makan sahur. Dari ‘Amr bin Maimun Al Audy, ia berkata
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاس إفْطَارًا وَأَبْطأَهُمْ سحورًا
Para shahabat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam adalah orang-orang yang bersegera
untuk berbuka puasa dan yang berlambat-lambat (mengakhirkan) makan
sahur. (HR. Abdurrazzaq, Al Baihaqi, sanadnya dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari)
Keempat
Berusaha untuk menyegerakan berbuka
agar umat ini senantiasa berada di atas kebaikannya. Hal ini sebagaimana
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ
Umat Islam senentiasa berada di atas kebaikannya selama mereka menyegerakan berbuka. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ
Senantiasa ummatku bejalan di atas sunnahku
selama mereka tidak menunggu munculnya bintang-bintang ketika mereka
hendak berbuka puasa. (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الفِطْرَ لأَنَّ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
Senantiasa agama Islam ini jaya selama umat ini menyegerakan berbuka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya. (HR. Abu dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dihasankan Asy Syaikh Al Albani)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah menjelaskan pula perkara ini dalam sabda beliau
إِذَا
أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، -من جهة الشرق- وَأَدْبَرَ النَّهَارُ
مِنْ هَا هُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Apabila telah tiba malam dari sini -yakni dari
arah timur- dan berakhir siang dari sini, dan telah tenggelamnya
matahari, maka tibalah waktu berbuka bagi orang yang berpuasa. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Adab berbuka
Dan teriring dengan pembahasan berbuka
ini beberapa adab syar’i yang disunnahkan bagi seorang yang berpuasa
untuk senantiasa menjaga dan mengamalkannya dalam rangka meneladani Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, yaitu:
1. Mendahulukan berbuka daripada shalat, sebagaimana yang dikatakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
مَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ قَطُّ
صَلَّى صَلاَة َالمَغْرِبِ حَتَّى يُفْطِرَ وَلَوْ عَلَى شَرْبَةٍ مِنْ
مَاءٍ
Tidak pernah aku melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam shalat maghrib sekali pun sampai beliau berbuka
walaupun dengan seteguk air. (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
2. Berbuka dengan beberapa ruthab (kurma setengah matang), jika tidak mendapatkannya maka dengan beberapa tamr (kurma yang sudah matang), dan jika tidak mendapatkannya maka dengan air, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى
رُطَبَاتٍ، قَبْلَ أَنْ يُصَلِّي، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَعَلَى
تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berbuka dengan beberapa ruthab sebelum mengerjakan sholat, kalau tidak
dengan ruthab maka dengan beberapa tamr, kalau tidak dengan tamr maka
dengan meneguk air beberapa tegukan. (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, dihasankan Asy Syaikh Al Albani)
3. Memanjatkan do’a orang yang berpuasa ketika berbuka sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu beliau berdo’a ketika berbuka
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ -إِنْ شَاءَ اللهُ
Telah hilang dahaga, telah terbahasi urat-urat, dan telah ditetapkan pahala insya Allah. (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, dihasankan Asy Syaikh Al Albani)
Kelima
Dan di antara adab berpuasa juga adalah
disunnahkan untuk bersiwak secara mutlak baik seorang mukallaf tadi
berpuasa atau tidak, atau menggunakan siwak tersebut dalam keadaan basah
atau kering, ataupun menggunakannya pada awal siang atau di akhirnya,
hal ini berdasarkan pada anjuran untuk bersiwak ketika hendak shalat dan
hendak berwudhu sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
Kalau saja tidak memberatkan umatku, maka aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap akan mengerjakan sholat.(Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan dalam riwayat yang lain
عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
Pada setiap akan berwudhu. (HR. Ahmad dan lainnya, dihasankan Asy Syaikh Al Albani)
Tidak dikhususkan pemakaian siwak tersebut kepada orang yang berpuasa atau yang tidak.
Berkata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
يُسْتَاكُ أَوَّل النَّهَارِ وَآخِرهُ
Siwak itu digunakan pada awal siang dan di akhirnya. (Lihat Mukhtashar Al Bukhari karya Asy Syaikh Al Albani)
Terkait dengan kandungan yang terdapat pada hukum ini (bersiwak ketika puasa), berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
Dan adapun bersiwak (ketika berpuasa), maka ini
dibolehkan, tidak ada perselisihan padanya, akan tetapi para ulama
berbeda pendapat tentang kemakruhannya jika bersiwak itu dilakukan
setelah tergelincirnya matahari, dalam hal ini ada dua pendapat yang
masyhur, keduanya diriwayatkan dari Al Imam Ahmad. Dan pendapat yang
menyatakan kemakruhannya itu tidak didasarkan pada dalil syar’i yang
bisa mengkhususkan keumuman nash-nash tentang pemakaian siwak ini. (Majmu’ Al Fatawa XXV/266)[1]
Keenam
Bersungguh-sungguh untuk mengerjakan kebaikan serta menambah porsi ibadah, dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pada bulan Ramadhan memperbanyak ibadah dan amalan kebajikan, dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan bahwa beliau berkata
كَانَ
-أي النَّبِىُّ صلى الله عليه وآلِهِ وسلم- أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْر،
وكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ،
وَكَانَ جِبْرِيلُ -عَلَيْهِ السَّلاَم- يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى
رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ صلى الله عليه
وسلم الْقُرْآنَ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ -عَلَيْهِ السَّلاَمُ-كَانَ
أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Dahulu Nabi r adalah orang yang paling
bersungguh-sungguh untuk mengerjakan kebaikan, dan kesungguhan beliau
yang paling besar adalah ketika Ramadhan, ketika Jibril berjumpa dengan
beliau, dan Jibril ‘alaihissalam senantiasa menjumpai beliau setiap
malam bulan Ramadhan sampai selesai (habis bulan Ramadhan), Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan padanya Al Qur’an, ketika
berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau sangat bersungguh-sungguh
(cepat/bersegera) kepada kebaikan daripada cepatnya angin yang
berhembus. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
dahulu memperbanyak membaca Al Qur’an pada bulan Ramadhan,
memperpanjang shalat malam pada bulan tersebut melebihi panjangnya
shalat beliau pada bulan yang lain, banyak bershadaqah, memberi, dan
segala macam bentuk kebajikan yang lain beliau lakukan. Beliau sangat
bersungguh-sungguh untuk beribadah pada sepuluh malam terakhir -i’tikaf,
shalat malam, membaca Al Qur’an, dzikir- melebihi kesungguhan beliau
beribadah di bulan-bulan yang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.
Jika memasuki sepuluh hari terakhir, beliau
mengencangkan ikat pinggangnyua, menghidupkan malamnya, dan beliau
membangunkan keluarganya. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan di antara bentuk ibadah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
adalah mengerjakan umrah pada bulan Ramadhan yang padanya terdapat
pahala yang besar, menyamai pahala ibadah haji berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً
Umrah pada bulan Ramadhan sebanding dengan haji. (HR. Abu Dawud, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Pahala shalat di dua masjid: Makkah dan Al Madinah akan dilipatgandakan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
Shalat di masjidku ini lebih baik seribu kali lipat dibandingkan dengan shalat di tempat yang lain kecuai Al Masjidil Haram. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Terlebih lagi akan menghapuskan dosa-dosa dan kejelekan ketika ditunaikannya umrah yang berikutnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا.
Antara umrah yang satu dengan umrah yang berikutnya ada penghapus dosa yang dilakukan padanya. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Ketujuh
Menjauhi semua perkara yang bisa
menghalangi terealisasinya tujuan dari puasa itu sendiri, yakni orang
yang berpuasa menjaga diri dari semua perkara yang dilarang oleh
syari’at ini berupa ucapan-ucapan kotor, perbuatan-perbuatan buruk yang
diharamkan dan dibenci pada setiap waktu terkhusus pada bulan Ramadhan
yang kejelekan tersebut akan semakin besar jika dilakukan oleh orang
yang berpuasa. Oleh karena iulah wajib bagi orang yang berpuasa untuk
menahan lisannya dari ucapan yang tidak baik seperti dusta, ghibah,
namimah, celaan, pertengkaran, dan pemanfaatan waktu yang sia-sia untuk
mendendangkan syair-syair, mengobrol pada malam hari, membikin tertawa
yang tidak ada manfaatnya, pujian, dan celaan yang tidak pantas.
Sebagaimana diwajibkan juga bagi orang yang berpuasa untuk menjaga
pendengarannya dari ucapan-ucapan yang tidak baik tersebut dan dari
segala sesuatu yang kotor dan tercela menurut syari’at. Seorang yang
berpuasa hendaknya bersungguh-sungguh untuk menahan jiwa dan badannya
dari segala bentuk syahwat dan sesuatu yang diharamkan, seperti
menundukkan pandangan, membatasi pandangan dair melihat sesuatu yang
tercela dan dibenci, menjauhkan anggota-anggota badan yang lain dari
ketergelinciran kepada perbuatan dosa, tidak menjulurkan tangannya ini
untuk perkara yang batil, ataupaun tidak melangkahkan kakinya kepada
perkara yang batil, tidak makan kecuali makanan yang baik dan tanpa
berlebihan agar terputus hawa nafsunya dan agar menguatkan penjagaan
terhadap setan dan bala tentaranya, dan bersamaan dengan itu hatinya
tetap -setelah berbuka dan setelah mengerjakan seluruh ibadahnya-
senantiasa berada pada sikap antara berharap agar puasanya diterima dan
dia menjadi orang-orang yang didekatkan kepada Allah dan takut puasanya
tidak diterima yang menjadikan dia termasuk orang-orang yang dimurkai.
Telah disebutkan dalam beberapa nash
tentang perkara yang terkandung pada makna di atas yang memperingatkan
orang yang berpuasa dari kejelekan lisan dan anggota badan, di antara
nash-nash tersebut adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak mau meninggalkan
perkataan kotor ataupun perbuatan keji, maka Allah tidak butuh kepada
upaya dia untuk meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Al Bukhari)
Bukanlah yang dimaksudkan
dalam pensyariatan puasa itu hanya untuk menahan lapar dan dahaga saja,
akan tetapi yang dimaukan dari ibadah puasa adalah apa yang ada di balik
itu semua berupa pemutus syahwat dan tunduknya hawa nafsu -yang
senantiasa memerintahkan kepada kejelekan- kepada jiwa yang khusyuk,
oleh karena itulah Rasu;lullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
Berapa banyak seorang yang berpuasa akan tetapi
dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar saja, dan berapa
banyak seorang yang shalat malam akan tetapi dia tidak mendapatkan
apa-apa kecuali hanya begadangnya saja. (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Puasa itu hakikatnya adalah menahan
perutnya dari makanan, anggota badannya dari perbuatan dosa, lisannya
dari perkataan keji dan jelek, pendengarannya dari perkataan jelek,
kemaluannya dari perbuatan keji dan pandangannya dari melihat sesuatu
yang haram. Apabila berbicara, hendaklah tidak berbicara dengan sesuatu
yang bisa merusak puasanya, dan jika berbuat tidaklah ia berbuat dengan
sesuatu yang bisa merusak puasanya, perkataannya adalah perkataan yang
bermanfaat dan perbuatannya adalah perbuatan yang baik. Bersabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
قَالَ
اللَّهُ تعالى: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ،
فَإِنَّهُ لِى، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ. وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ
يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ
سَابَّهُ أَحَدٌ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
Allah ta’ala berfirman: Setiap amalan anak Adam
itu bagi dirinya sendiri kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku
dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Puasa itu adalah perisai.
Apabila suatu hari salah seorang di antara kalian berpuasa, maka
janganlah ia berkata kotor dan onar. Apabila ada sesorang yang
mencelanya atau memusuhinya maka hendaklah ia berkata: sesungguhnya aku
sedang berpuasa. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Pada hadits yang lainnya dengan lafadz
لاَ تُسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، وَإِنْ كُنْتَ قَائِماً فَاجْلِسْ
Janganlah engkau mencela dalam keadaan engkau
berpuasa. Jika ada seseorang yang mencelamu maka katakanlah:
sesungguhnya aku sedang berpuasa, dan jika engkau sedang berdiri maka
duduklah. (HR. Ibnu Khuzaimah, Asy Syaikh Al Albani berkata: shahih)
Dan terkadang seseorang yang berpuasa
tidak mendapatkan pahala walaupun dia merasa letih karena lapar dan
haus, hal ini disebabkan karena ia tidak menjalankan puasanya sesuai
dengan yang dimaukan syariat dengan cara meninggalkan perkara-perkara
yang dilarang. Karena pahala puasa terkurangi dengan sebab perbuatan
maksiat, dan tidaklah puasa tersebut batal kecuali dengan sebab-sebab
yang bisa membatalkan puasa. Maka pada hadits-hadits di atas ada
dorongan bagi yang berpuasa untuk memaafkan kesalahan orang-orang yang
berbuat salah padanya dan berpaling (melupakan) kejelekan orang-orang
yang berbuat jelek padanya.
Kedelapan
Menyiapkan (menjamu) hidangan berbuka
bagi yang berpuasa, dalam rangka mencari pahala seperti pahala yang
didapatkan orang-orang yang berpuasa tersebut. Telah shahih hadits yang
menyebutkan tentang keutamaan ini dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَمْ يَنْقُصْ مَِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barang siapa menjamu untuk berbuka bagi seorang
yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yag berpuasa
tadi tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu. (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan Asy syaikh Al Albani)
Kesembilan
Menjaga shalat malam dan
melaksanakannya secara berjama’ah. Selayaknya untuk terus bersemangat
dalam amalan ini dan tidak terlewatkan atau meninggalkanya karena hal
ini akan menyebabkan luputnya kebaikan yang banyak darinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam mendorong para shahabatnya untuk melaksanakan shalat malam ini namun beliau tidak memaksa mereka. Beliau bersabda
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang shalat malam pada bulan
Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan dengannya pahala maka
akan diampuni dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Terkhusus pada sepuluh malam terakhir
yang padanya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Allah memberikan pada malam itu pahala yang besar bagi yang
menghidupkannya dan ampunan terhadap maksiat dan dosa yang telah lalu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang menghidupkan (malam) lailatul
qadr dengan penuh keimanan dan mengharapkan dengannya pahala maka akan
diampuni dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda tentang keutamaan menghidupkan malam tersebut dengan berjama’ah
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مع الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam (berjama’ah) sampai selesai maka akan dicatat baginya pahala shalat malam penuh. (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Maka sepantasnya bagi seseorang yang
berpuasa untuk bersemangat menjaga shalat malam pada bulan Ramadhan
secara berjama’ah agar tidak terhalangi darinya kebaikan dan yang sangat
besar dan pahala yang berlipat ini.
Sebagai penutup, sepantasnya bagi
seorang muslim untuk memberikan perhatian terhadap perkara agamanya,
peduli terhadap perkara yang bisa memperbaiki dirinya sesuai dengan
tuntunan syariat guna mendapatkan manfaatnya terutama yang terkait
dengan rukun-rukun Islam dan pondasi-pondasi utamanya, di antaranya
adalah ibadah puasa yang merupakan ibadah yang berulang setahun sekali
dalam kehidupan seorang muslim.
Bagi seorang muslim yang Allah berikan
taufiq untuk berpuasa Ramadhan dan shalat pada malam harinya, agar
mengerjakannya dengan ikhlas dan mutaba’ah. Hendaknya ia habiskan waktunya untuk banyak beristighfar dan merasa dirinya banyak kekurangan di hadapan Allah ta’ala.
Dan istighfar (hendaknya dijadikan) penutup setiap amalan dan semua
bentuk ibadah, janganlah seorang mukmin tertipu dengan dirinya dan
merasa bangga diri dengan amalannya, hendaknya dia mensucikan dirinya
dari perkara-perkara tersebut, bahkan wajib baginya untuk menyadari
sedikit dan kurangnya amalan dia dalam menunaikan hak Allah ta’ala, senantiasa dirinya dilingkupi perasaan antara apakah amalannya itu diterima ataukah ditolak oleh Allah ta’ala.
Oleh karena itulah para salaf bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan
amalan dan memantapkannya kemudian setelah itu berharap agar amalannya
diterima oleh Allah ta’ala dan sekaligus takut jika amalannya tersebut tertolak. Mereka itilah yang Allah ta’ala sifatkan
﴿يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ﴾
Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al Mu’minun: 60)
Yakni merasa takut dan tidak merasa aman dari makar
Allah, maka mereka -dalam keadaan takut amalannya tertolak- banyak
beristighfar dan bertaubat bersamaan dengan kesungguhan yang luar biasa
untuk beramal agar amalan mereka diterima, karena diterimanya amalan
merupakan tanda dari ketakwaan. Allah ta’ala berfirman
﴿إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِين﴾
Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. (Al Ma’idah: 27)
Tatkala seorang munafiq gembira
dengan usainya bulan Ramadhan sehingga bisa bebas untuk melampiaskan
syahwat dan berbuat maksiat yang selama satu bulan mereka terhalangi
untuk mengerjakannya, maka sesungguhnya seorang muslim bergembira
dengan usainya Ramadhan setelah menyempurnakan amalannya dengan harapan
mendapatkan pahala dan keutamaan-keutamaanya, kemudian dilanjutkan
dengan istighfar dan takbir serta ibadah yang lainnya.
Allah ‘azza wajalla telah memerintahkan untuk beristighfar yang ini merupakan syi’ar para nabi ‘alaihimussalam sebagai
penyerta dari tauhid. Dan seorang hamba itu sangatlah butuh terhadap
keduanya agar amalannya berada di atas tauhid dan diperbaiki dengan
istighfar sebagai bentuk pembersih amalannya dari sesuatu yang kurang
atau dari berbagai bentuk kesalahan. Dalam konteks penyertaan perintah
untuk bertauhid dan beristighfar ini Allah ‘azza wajalla berfirman
﴿فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ
وَمَثْوَاكُمْ﴾
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada
Ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu
tinggal. (Muhammad: 19)
Dan Allah ta’ala berfirmna tentang Nabi Yunus
﴿فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لاّ إِلَهَ إِلاَّ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ﴾
Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat
gelap: Bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau. Maha
suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim. (Al Anbiya’: 87)
Kita memohon kepada Allah ta’ala
agar Allah memberikan kita rizki berupa kebaikan-kebaikan dan barakah
bulan ini, dan memberikan pula rizki berupa keutamaan-keutamaan dan
pahala-pahalanya, dan kita memohon kepada-Nya agar tidak mengharamkan
kita dari beramal shalih pada bulan ini dan juga bulan-bulan yang
lainnya. Sebagaiman juga kita memohon kepada-Nya taufiq, istiqamah,
diterimanya amalan dan diampuninya segala kekurangan kita, Alhamdulillahirabbil’alamin.
وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلم تسليما.
أبو عبد المعز محمد علي فركوس
[1] Al Hafizh Ibnu Hajar dalam At Talkhish (II/202) mengatakan:
عن
عبد الرحمن بن غَنَم قال: سألت معاذ بن جبل: أتسوّك وأنا صائم؟ قال: نعم .
قلت: أيّ النهار أتسوّك؟ قال: أيّ النهار شئت، إن شئت غدوة، وإن شئت عشية.
قلت: فإنّ النّاس يكرهونه عشية، قال: لمَ؟ قلت: يقولون: إنّ رسول الله صلى
الله عليه وآله وسلم قال: “لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك”
فقال: سبحان الله! لقد أمرهم رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بالسواك
حين أمرهم وهو يعلم أنه لا بدّ أن يكون بفم الصائم خلوف وإن استاك، وما كان
بالذي يأمرهم أن يُنتِنوا أفواههم عمداً ، ما في ذلك من الخير شيء، بل فيه
شرّ إلاّ من ابتلي ببلاء لا يجد منه بدّا
Dari Abdurrahman bin Ghunm, dia berkata: Aku
bertanya kepada Mu’adz bin Jabal: Apakah boleh aku bersiwak dalam
keadaan berpuasa? Mu’adz berkata: Ya. Aku katakan: Pada bagian siang
yang mana aku boleh bersiwak? Mu’adz berkata: Pada bagian siang manapun
yang engkau kehendaki engkau boleh bersiwak, jika engkau mau pada pagi
hari, dan jika engkau mau pada sore hari. Aku berkata: Orang-orang
membenci (yakni memakruhkan /mengharamkan) jika bersiwak pada sore hari.
Mu’adz berkata: mengapa? Aku menjawab: mereka mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda: Bau mulut
orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak wangi
misk. Mu’adz berkata: Subhanallah! Sungguh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wasallam telah memerintahkan kepada mereka untuk
bersiwak, ketika beliau memerintahkan yang demikian itu beliau tahu
bahwa orang yang bepuasa itu pasti mulutnya berbau walaupun telah
bersiwak, dan tidaklah beliau memerintahkan mereka untuk membuat
mulut-mulut mereka berbau secara sengaja, hal itu tidak ada kebaikan
padanya sedikit pun, bahkan padanya terdapat kejelekan kecuali
barangsiapa yang diuji dengan ujian yang pasti menimpanya.
Posting Komentar