(Catatan Kecil Perjalanan ke Kampung Laut )
.
Sinar surya pagi berusaha menyapa kami,
yang telah dua malam ini berteduh bersama ketenangan di kompleks pondok
pesantren An Nuur Al Atsary. Kelembutan sinarnya tersaput mendung yang
menggelayut di langit Banjarsari, Ciamis. Sementara itu, ayam Pelung
jantan yang telah bangun semenjak fajar menyingsing, berulang kali
berkokok dari arah kediaman Ustadz Khotib Muwahid, seolah mengajak kami
untuk segera berbenah dan memulai aktifitas.
Sisa-sisa air hujan semalam masih
berbekas di pelataran dan jalanan sekitar pondok, mencoba melekatkan
tanah liat di alas kakiku bagai salam hangat perkenalan… Sembari
mengayun kaki, terasa udara segar mulai berebut menyeruak masuk ke bilik
paru-paru bersama hirupan nafas. Tentu saja, alam pedesaan ini akan
membuat rindu dan iri sebagian orang kota.
Pondok pesantren yang sederhana, begitu
kesan pertama yang tertanam di benakku. Bagaimana tidak? Bayangkan saja,
sebagian ruangan untuk “aktipitas” santri adalah bekas kandang ayam
yang dialihfungsikan. Pun dinding ruangan pondok sebagian didominasi
anyaman bambu dan tiang-tiang kayu, dan lantai dari bilah-bilah papan
yang diatur berjajar.

Ponpes An Nuur Al Atsary
Namun begitu, genderang dakwah yang
ditabuh dari pondok pesantren ini, getarannya terasa hingga pucuk gunung
dan tepian laut di kawasan Ciamis dan Cilacap. Subhanalloh… Tentu semua
ini atas pertolongan Alloh dan kehendakNya.
***
Beberapa
kali terdengar panitia mengingatkan untuk segera bersiap, karena
rombongan yang hendak ke Kampung Laut akan berangkat pukul enam pagi.
Butuh waktu sekira satu jam perjalanan darat untuk sampai ke pelabuhan
Majingklak, dan satu jam perjalanan lagi menyusuri Segara Anakan menuju
Ujungalang Cilacap.
Bagai di negeri Nyiur Hijau !
Gumamku dalam hati. Dari pondok menuju
Majingklak, nampak pohon kelapa berdiri tak teratur di kiri dan kanan
jalan, apalagi menjelang tiba di muara sungai Citanduy, deretan nyiur
hijau itu makin kerap dan lebat. Buahnyapun nampak ranum dan segar.
Sayang sekali tak nampak satupun penjual kelapa muda yang berjualan di
pinggir jalan. Barangkali di tempat ini, buah kelapa muda bukan
komoditas menguntungkan untuk menambah penghasilan, mungkin lebih
menguntungkan untuk dijual di tempat lain.
Pandanganku sempat terusik oleh
batang-batang kayu dan sampah yang mengambang terbawa arus sungai
Citanduy menuju Segara Anakan. Air sungai kecokelatan bak warna air kopi
bercampur creamer telah menyambut kami setiba di Majingklak. Majingklak
bukanlah pelabuhan yang besar, statusnya pun hanya sekedar pelabuhan
penyeberangan penumpang dan barang dari Ciamis ke Cilacap. Konon
kabarnya dahulu kapal fery sempat beroperasi di tempat ini. Sayang
sekali saat ini sudah tidak lagi, sejak pendangkalan di Segara Anakan
semakin parah. Hingga kini masyarakat di Majingklak masih bergelut
dengan kebutuhan air bersih dan layak untuk dikonsumsi. Sebagian mereka
memilih menyedot air dari Sungai Citanduy, lalu mereka endapkan dengan
melarutkan bongkah-bongkah tawas. Itupun air yang berhasil diendapkan
tak bisa dibilang jernih, namun masih mending dibandingkan mereka harus
mengonsumsi air sungai Citanduy langsung. Sebenarnya mereka bisa
mengambil air bersih dari Pulau Nusakambangan yang kini nampak di
seberang pelabuhan Majingklak. Tentu saja, butuh biaya yang tidak
sedikit untuk bisa mengangkut air bersih dari tempat tersebut sekaligus
resiko kapal kecil mereka oleng saat mengarungi Segara Anakan. Segala
puji bagimu, Yaa Alloh yang telah melimpahkan kenikmatan air bersih yang
berlimpah…
Wallohu a’laam, seorang pejabat desa Pamotan (yang menaungi wilayah Majingklak) mengatakan bahwa ada mata air di bukit yang berjarak sekira 4 kilometer dari pelabuhan Majingklak, dan pihak Perhutani telah memberi ijin pemanfaatannya, sementara pihak desa masih mengalami kesulitan untuk mewujudkan hal tersebut. Semoga ada di kalangan kita Ahlus Sunnah yang Alloh berikan kemampuan untuk bisa menyediakan sarana air bersih, sekaligus bermanfaat sebagai salah satu kunci pintu dakwah Ahlus Sunnah di daerah ini, sebagaimana dahulu dicontohkan sahabat ‘Utsman ibn ‘Affan ketika membeli sumur Roumah dari seorang Yahudi… Semoga hal itu menjadi amalan yang besar dan berbarokah…

Pelabuhan Majingklak
***
Satu jam telah berlalu… Kami tiba di
Ujungalang Cilacap, tempat penyelenggaraan muhadhoroh bersama Al Fadhil
Al Ustadz Luqman Ba’abduh. Desa ini merupakan salah satu lahan
Kristenisasi di Kecamatan Kampung Laut selain tiga desa lainnya :
Ujunggagak, Klaces dan Panikel. Bukti nyata bahwa tempat ini adalah
lahan Kristenisasi adalah keberadaan sebuah gereja kecil di dekat
pelabuhan Ujungalang. Pelabuhan Ujungalang bersambung dengan pemukiman
penduduk yang sebagian nampak kurang terawat, meski sebagian besar
bangunan telah permanen. Rumah-rumah penduduk nampak sepi. Kebanyakan
berukuran kecil, dengan pelataran lebih rendah dari jalan kampung,
bahkan sebagian rumah nampak lebih rendah dibandingkan jalan kampung
yang kami lalui. Tembok pagar rumahpun berukuran mungil, hanya setinggi
50 cm dari permukaan jalan. Jalanan sepanjang jalur dari pelabuhan
menuju SDN Ujungalang 1 telah terpaving meski celah antar paving tak
terlalu rapat, sehingga terasa bergelombang bagi pejalan kaki dan
pengguna sepeda motor yang melaluinya.
Subhaanalloh…
Hingga acara berlangsung, sekira 1000 orang hadir di SDN Ujungalang 1
Cilacap. Sambutan dari aparat Pemerintah sangat bagus, bahkan pihak
Kepolisian Republik Indonesia telah mengetahui bahwa penyelenggara
kajian bukanlah kalangan teroris, sehingga mereka pun mudah memberikan
ijin penyelenggaraan. Salah satu pelajaran penting yang saya ambil
adalah : Al Ustadz Luqman Ba’abduh sengaja menampakkan syi’ar, bahwa
salah satu prinsip Ahlus Sunnah adalah ketaatan terhadap Pemerintah,
langsung di hadapan Aparat Pemerintah, Aparat Kepolisian dan masyarakat
umum, tanpa mengorbankan harga diri kita sebagai Ahlus Sunnah.

Sedari tadi nampak seorang laki-laki
berjenggot dan berjubah abu-abu, berdiri tiga meter di samping kiri Al
Ustadz Luqman Ba’abduh, berusaha serius menyimak apa yang disampaikan
ustadz. Kata Fikri, salah seorang pengurus pondok pesantren An Nuur,
lelaki itu seorang mu’alaf. Pak Tohari demikian namanya, dahulu dikenal
sebagai tangan kanan misionaris Kampung Laut dan kini dia telah kembali
kepada Jalan Keselamatan, Al Islam.
Kami masih bertahan di SDN Ujungalang 1
hingga menjelang waktu Dluhur, bersamaan dengan berita bahwa kapal yang
akan membawa kami bersama rombongan Asatidzah menuju Ujunggagak telah
siap.
***
Tiga kapal yang membawa kami bersama
rombongan Asatidzah menuju Ujunggagak terasa cepat mengarungi perairan.
Alhamdulillah kapal yang saya tumpangi menggunakan mesin tempel, tidak
bermesin diesel sebagaimana saat kami berangkat. Nampak beberapa ekor
ikan berlompatan di sekitar jalur kapal, mungkin mereka kaget menyambut
kehadiran kami. Nampak pula sambutan menyenangkan yang terpancar dari
ukiran senyum di wajah Pak Tohari yang duduk di samping Fikri. Beberapa
kali dirinya menyapa beberapa orang nelayan yang sibuk membenahi
jaringnya di sepanjang jalur air menuju Ujunggagak. Pak Tohari dan
adiknya Luqman, keseharian mereka adalah nelayan kecil. Keduanya tinggal
di desa Ujunggagak dan kini rajin mempelajari Diinul Islam dari
asatidzah pondok pesantren An Nuur Al Atsary yang ditugaskan berdakwah
di Kampung Laut.
Kami dan rombongan Asatidzah bergegas
menuju sebuah rumah yang merupakan aset dakwah di Ujunggagak. Nampaknya
Al Ustadz Luqman ingin membahas beberapa hal serius bersama rombongan
Asatidzah, terkhusus Asatidzah pondok pesantren An Nuur Al Atsary
tentang program dakwah di Kampung Laut.
” Doakan saya, Ustadz ! “, kata Ja’far, salah seorang juru mudi kapal pada Ustadz Luqman..Jawab beliau santun, ” Kita sama-sama berdo’a. Antum berdo’a dan ana juga berdo’a “
Jujur saja, saya berusaha mengamati dan
belajar beberapa hal yang saya saksikan langsung dari Ustadzuna Luqman
Ba’abduh. Bukan bentuk ta’asub kepada beliau, namun saya sedang belajar
bagaimana adab dan akhlaq yang beliau praktikkan berdasarkan sunnah
Rosul. Pun saya tatap lekat-lekat, kala beliau memberikan salam kepada
anak-anak kecil di Ujunggagak ketika berjalan menuju kapal. Semoga Alloh
senantiasa menjaga beliau di atas al Haq, dan semoga kita bisa
meneladani Rosululloh…
***
Rombongan tiba di Platar Agung, tempat
dimana sebuah musholla telah dibangun oleh pondok pesantren An Nuur Al
Atsary. Dari lantai dua gardu pandang sederhana di sisi kanan musholla,
kami bisa melihat nun jauh di sana Samudera Hindia. Deburan ombaknya
sedang tak ganas, menghantam sisi-sisi batu karang yang seolah menjadi
tameng. Berbekal teropong salah seorang di antara kami, nampak lebih
dari 20 kapal nelayan sedang menjaring ikan di perairan Samudera.
” Kita ada markas di atas bukit sana. Dari sana kita bisa lihat ke laut “, kata Ustadz Khotib Muwahid..” Ayo kita ke sana “, sambut Ustadz ‘Abdush Shomad bersemangat.
Rencana ke bukit yang dimaksud Ustadz
Khotib terpaksa dibatalkan. Jalanan menuju puncak bukit terlalu curam
dan berbahaya, sementara di bawah bukit tersebut banyak karang-karang
tajam.
Sesuai harapanku semula, akhirnya kami
dan rombongan Asatidzah menuju Pasir Putih. Hanya menyeberang dari
Platar Agung ke sisi utara ujung barat Pulau Nusakambangan, kami tiba di
pantai yang dihiasi batu-batu hijau kecil. Dari tempat ini masih
berjarak sekitar 1 km untuk sampai di pantai Pasir Putih, kami harus
berjalan naik bukit menuju sisi selatan ujung barat Pulau Nusakambangan.
Di kanan kiri jalan setapak nampak tanaman yang tumbuh liar dan
sebagiannya kukenali sebagai tanaman obat, sebagian lagi palawija di
ladang milik petani. Terbersit keherananku, bagaimana bisa para petani
itu bercocok tanam di tempat ini, sementara tak nampak rumah-rumah
penduduk di sekitar sini?
Subhaanalloh… Benar-benar pantai Pasir
Putih yang indah. Butiran pasirnya benar-benar berwarna putih, dihiasi
berbagai kulit kerang yang tersapu ombak menuju tepi pantai. Sementara
itu, jauh di hadapan kami nampak karang-karang hitam tegar menghadapi hantaman ombak samudera.
Di tempat ini, saya kembali mengamati
dan belajar langsung dari Ustadzuna Luqman Ba’abduh. Bagaimana adab
beliau ketika bercanda dan bermain, bahkan ketika meludah. Semoga Alloh
senantiasa menjaga beliau di atas al Haq, dan semoga kita bisa
meneladani Rosululloh…
Senja telah menjelang… Saat-saat penuh
godaan bagi para nelayan. Saat dimana ikan-ikan keluar dari
persembunyiannya. Kami pun bergegas kembali ke Majingklak.

ditulis oleh : Admin
http://www.ibnutaimiyah.org/category/kisah/