oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc
Akal adalah nikmat besar yang Allah
titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini
menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa
Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ
بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan Dia menundukkan malam dan siang,
matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan
(untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memahami(nya).” (An-Nahl: 12).
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ
مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ
وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى
بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian
yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon
korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang
sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang
lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami
termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)…
Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah
terdapat dalam kitab Allah Subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala
telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat,
serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…”
(Al-Istiqamah, 2/157)
Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:
1. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ
عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ
النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang
yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga
bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh
Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)
2. Islam menjadikan akal sebagai salah
satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta,
jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)
3. Allah Subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ
“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan
berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti
mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya
sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang
memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan
tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal
yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru
menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu
yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita
menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk.
Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan
keterbatasan.
As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Subhanahu wa ta’ala
menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi
berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal
menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan
pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika
ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana
sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau
perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini,
seperti pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah
dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan
Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh
Al-Albani menghasankannya)
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk
pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui
hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di
balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu
banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada
syariat.
Diumpamakan oleh para ulama bahwa
kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam
dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa
dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta
fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah
mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa
dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi
yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa
dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu
telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih
tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah
mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan
kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada
tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman
terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang
ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka–
belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh
apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak
mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap
akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin
mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari
Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang terpuji dan akal yang tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah Subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah Subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah
kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah
satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat
yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di
hadapan kepada syariat.
Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian
banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa
pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui
bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita
merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas.
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit
dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil
naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama
sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang
diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash
yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui
kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran
kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa
para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut
akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima.
Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal
sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu
untuk menjangkaunya.
Karena itu wajib bagi orang-orang
Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash
wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka
serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu
haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu
lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok
Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut
mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah
membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat
tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula
kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh
akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)
Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.
Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an
dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil.
Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin
Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama
ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah,
hal. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan:
“Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah
dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki,
tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”
(Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah
Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)
Abul Muzhaffar As-Sam’ani ketika
menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran
mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari
agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka
hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan
keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah
perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak
sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al
Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena
sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan
kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang
salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)
Bila akal didahulukan
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alahissalam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍْ
“Allah berfirman: ‘Apakah yang
menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’
Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari
api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)
2. Menyerupai orang kafir yang menolak
keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap
kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka katakan:
وَقَالُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an
ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri
(Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faidah dari Rasul
sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara
ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada.
Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat
sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.
4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ
فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ
اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
“Maka jika mereka tidak menjawab
(tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti
hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang
yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.” (Al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.
6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ
فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ
اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
“Dan di antara manusia ada orang-orang
yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan
tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)
Ini termasuk larangan terbesar.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ
بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]
Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi
mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika
kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari
Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia
adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)
Posting Komentar