Kamis, 13 Februari 2014

Pelangi di Kampung Laut

(Catatan Kecil Perjalanan ke Kampung Laut )
.
Sinar surya pagi berusaha menyapa kami, yang telah dua malam ini berteduh bersama ketenangan di kompleks pondok pesantren An Nuur Al Atsary. Kelembutan sinarnya tersaput mendung yang menggelayut di langit Banjarsari, Ciamis. Sementara itu, ayam Pelung jantan yang telah bangun semenjak fajar menyingsing, berulang kali berkokok dari arah kediaman Ustadz Khotib Muwahid, seolah mengajak kami untuk segera berbenah dan memulai aktifitas.
Sisa-sisa air hujan semalam masih berbekas di pelataran dan jalanan sekitar pondok, mencoba melekatkan tanah liat di alas kakiku bagai salam hangat perkenalan… Sembari mengayun kaki, terasa udara segar mulai berebut menyeruak masuk ke bilik paru-paru bersama hirupan nafas. Tentu saja, alam pedesaan ini akan membuat rindu dan iri sebagian orang kota.
Pondok pesantren yang sederhana, begitu kesan pertama yang tertanam di benakku. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, sebagian ruangan untuk “aktipitas” santri adalah bekas kandang ayam yang dialihfungsikan. Pun dinding ruangan pondok sebagian didominasi anyaman bambu dan tiang-tiang kayu, dan lantai dari bilah-bilah papan yang diatur berjajar.
Ponpes An Nuur Al Atsary
Ponpes An Nuur Al Atsary
Ponpes An Nuur Al Atsary
Ponpes An Nuur Al Atsary
Namun begitu, genderang dakwah yang ditabuh dari pondok pesantren ini, getarannya terasa hingga pucuk gunung dan tepian laut di kawasan Ciamis dan Cilacap. Subhanalloh… Tentu semua ini atas pertolongan Alloh dan kehendakNya.
***
Beberapa kali terdengar panitia mengingatkan untuk segera bersiap, karena rombongan yang hendak ke Kampung Laut akan berangkat pukul enam pagi. Butuh waktu sekira satu jam perjalanan darat untuk sampai ke pelabuhan Majingklak, dan satu jam perjalanan lagi menyusuri Segara Anakan menuju Ujungalang Cilacap.
Bagai di negeri Nyiur Hijau !
Gumamku dalam hati. Dari pondok menuju Majingklak, nampak pohon kelapa berdiri tak teratur di kiri dan kanan jalan, apalagi menjelang tiba di muara sungai Citanduy, deretan nyiur hijau itu makin kerap dan lebat. Buahnyapun nampak ranum dan segar. Sayang sekali tak nampak satupun penjual kelapa muda yang berjualan di pinggir jalan. Barangkali di tempat ini, buah kelapa muda bukan komoditas menguntungkan untuk menambah penghasilan, mungkin lebih menguntungkan untuk dijual di tempat lain.
Pandanganku sempat terusik oleh batang-batang kayu dan sampah yang mengambang terbawa arus sungai Citanduy menuju Segara Anakan. Air sungai kecokelatan bak warna air kopi bercampur creamer telah menyambut kami setiba di Majingklak. Majingklak bukanlah pelabuhan yang besar, statusnya pun hanya sekedar pelabuhan penyeberangan penumpang dan barang dari Ciamis ke Cilacap. Konon kabarnya dahulu kapal fery sempat beroperasi di tempat ini. Sayang sekali saat ini sudah tidak lagi, sejak pendangkalan di Segara Anakan semakin parah. Hingga kini masyarakat di Majingklak masih bergelut dengan kebutuhan air bersih dan layak untuk dikonsumsi. Sebagian mereka memilih menyedot air dari Sungai Citanduy, lalu mereka endapkan dengan melarutkan bongkah-bongkah tawas. Itupun air yang berhasil diendapkan tak bisa dibilang jernih, namun masih mending dibandingkan mereka harus mengonsumsi air sungai Citanduy langsung. Sebenarnya mereka bisa mengambil air bersih dari Pulau Nusakambangan yang kini nampak di seberang pelabuhan Majingklak. Tentu saja, butuh biaya yang tidak sedikit untuk bisa mengangkut air bersih dari tempat tersebut sekaligus resiko kapal kecil mereka oleng saat mengarungi Segara Anakan. Segala puji bagimu, Yaa Alloh yang telah melimpahkan kenikmatan air bersih yang berlimpah…
Wallohu a’laam, seorang pejabat desa Pamotan (yang menaungi wilayah Majingklak) mengatakan bahwa ada mata air di bukit yang berjarak sekira 4 kilometer dari pelabuhan Majingklak, dan pihak Perhutani telah memberi ijin pemanfaatannya, sementara pihak desa masih mengalami kesulitan untuk mewujudkan hal tersebut. Semoga ada di kalangan kita Ahlus Sunnah yang Alloh berikan kemampuan untuk bisa menyediakan sarana air bersih, sekaligus bermanfaat sebagai salah satu kunci pintu dakwah Ahlus Sunnah di daerah ini, sebagaimana dahulu dicontohkan sahabat ‘Utsman ibn ‘Affan ketika membeli sumur Roumah dari seorang Yahudi… Semoga hal itu menjadi amalan yang besar dan berbarokah…
Pelabuhan Majingklak
Pelabuhan Majingklak
***
Satu jam telah berlalu… Kami tiba di Ujungalang Cilacap, tempat penyelenggaraan muhadhoroh bersama Al Fadhil Al Ustadz Luqman Ba’abduh. Desa ini merupakan salah satu lahan Kristenisasi di Kecamatan Kampung Laut selain tiga desa lainnya : Ujunggagak, Klaces dan Panikel. Bukti nyata bahwa tempat ini adalah lahan Kristenisasi adalah keberadaan sebuah gereja kecil di dekat pelabuhan Ujungalang. Pelabuhan Ujungalang bersambung dengan pemukiman penduduk yang sebagian nampak kurang terawat, meski sebagian besar bangunan telah permanen. Rumah-rumah penduduk nampak sepi. Kebanyakan berukuran kecil, dengan pelataran lebih rendah dari jalan kampung, bahkan sebagian rumah nampak lebih rendah dibandingkan jalan kampung yang kami lalui. Tembok pagar rumahpun berukuran mungil, hanya setinggi 50 cm dari permukaan jalan. Jalanan sepanjang jalur dari pelabuhan menuju SDN Ujungalang 1 telah terpaving meski celah antar paving tak terlalu rapat, sehingga terasa bergelombang bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda motor yang melaluinya.
Subhaanalloh… Hingga acara berlangsung, sekira 1000 orang hadir di SDN Ujungalang 1 Cilacap. Sambutan dari aparat Pemerintah sangat bagus, bahkan pihak Kepolisian Republik Indonesia telah mengetahui bahwa penyelenggara kajian bukanlah kalangan teroris, sehingga mereka pun mudah memberikan ijin penyelenggaraan. Salah satu pelajaran penting yang saya ambil adalah : Al Ustadz Luqman Ba’abduh sengaja menampakkan syi’ar, bahwa salah satu prinsip Ahlus Sunnah adalah ketaatan terhadap Pemerintah, langsung di hadapan Aparat Pemerintah, Aparat Kepolisian dan masyarakat umum, tanpa mengorbankan harga diri kita sebagai Ahlus Sunnah.
Ujungalang
Sedari tadi nampak seorang laki-laki berjenggot dan berjubah abu-abu, berdiri tiga meter di samping kiri Al Ustadz Luqman Ba’abduh, berusaha serius menyimak apa yang disampaikan ustadz. Kata Fikri, salah seorang pengurus pondok pesantren An Nuur, lelaki itu seorang mu’alaf. Pak Tohari demikian namanya, dahulu dikenal sebagai tangan kanan misionaris Kampung Laut dan kini dia telah kembali kepada Jalan Keselamatan, Al Islam.
Kami masih bertahan di SDN Ujungalang 1 hingga menjelang waktu Dluhur, bersamaan dengan berita bahwa kapal yang akan membawa kami bersama rombongan Asatidzah menuju Ujunggagak telah siap.
***
Tiga kapal yang membawa kami bersama rombongan Asatidzah menuju Ujunggagak terasa cepat mengarungi perairan. Alhamdulillah kapal yang saya tumpangi menggunakan mesin tempel, tidak bermesin diesel sebagaimana saat kami berangkat. Nampak beberapa ekor ikan berlompatan di sekitar jalur kapal, mungkin mereka kaget menyambut kehadiran kami. Nampak pula sambutan menyenangkan yang terpancar dari ukiran senyum di wajah Pak Tohari yang duduk di samping Fikri. Beberapa kali dirinya menyapa beberapa orang nelayan yang sibuk membenahi jaringnya di sepanjang jalur air menuju Ujunggagak. Pak Tohari dan adiknya Luqman, keseharian mereka adalah nelayan kecil. Keduanya tinggal di desa Ujunggagak dan kini rajin mempelajari Diinul Islam dari asatidzah pondok pesantren An Nuur Al Atsary yang ditugaskan berdakwah di Kampung Laut.
Kami dan rombongan Asatidzah bergegas menuju sebuah rumah yang merupakan aset dakwah di Ujunggagak. Nampaknya Al Ustadz Luqman ingin membahas beberapa hal serius bersama rombongan Asatidzah, terkhusus Asatidzah pondok pesantren An Nuur Al Atsary tentang program dakwah di Kampung Laut.
” Doakan saya, Ustadz ! “, kata Ja’far, salah seorang juru mudi kapal pada Ustadz Luqman.
.
Jawab beliau santun, ” Kita sama-sama berdo’a. Antum berdo’a dan ana juga berdo’a “
Jujur saja, saya berusaha mengamati dan belajar beberapa hal yang saya saksikan langsung dari Ustadzuna Luqman Ba’abduh. Bukan bentuk ta’asub kepada beliau, namun saya sedang belajar bagaimana adab dan akhlaq yang beliau praktikkan berdasarkan sunnah Rosul. Pun saya tatap lekat-lekat, kala beliau memberikan salam kepada anak-anak kecil di Ujunggagak ketika berjalan menuju kapal. Semoga Alloh senantiasa menjaga beliau di atas al Haq, dan semoga kita bisa meneladani Rosululloh…
***
Rombongan tiba di Platar Agung, tempat dimana sebuah musholla telah dibangun oleh pondok pesantren An Nuur Al Atsary. Dari lantai dua gardu pandang sederhana di sisi kanan musholla, kami bisa melihat nun jauh di sana Samudera Hindia. Deburan ombaknya sedang tak ganas, menghantam sisi-sisi batu karang yang seolah menjadi tameng. Berbekal teropong salah seorang di antara kami, nampak lebih dari 20 kapal nelayan sedang menjaring ikan di perairan Samudera.
” Kita ada markas di atas bukit sana. Dari sana kita bisa lihat ke laut “, kata Ustadz Khotib Muwahid.
.
” Ayo kita ke sana “, sambut Ustadz ‘Abdush Shomad bersemangat.
Rencana ke bukit yang dimaksud Ustadz Khotib terpaksa dibatalkan. Jalanan menuju puncak bukit terlalu curam dan berbahaya, sementara di bawah bukit tersebut banyak karang-karang tajam.
Sesuai harapanku semula, akhirnya kami dan rombongan Asatidzah menuju Pasir Putih. Hanya menyeberang dari Platar Agung ke sisi utara ujung barat Pulau Nusakambangan, kami tiba di pantai yang dihiasi batu-batu hijau kecil. Dari tempat ini masih berjarak sekitar 1 km untuk sampai di pantai Pasir Putih, kami harus berjalan naik bukit menuju sisi selatan ujung barat Pulau Nusakambangan. Di kanan kiri jalan setapak nampak tanaman yang tumbuh liar dan sebagiannya kukenali sebagai tanaman obat, sebagian lagi palawija di ladang milik petani. Terbersit keherananku, bagaimana bisa para petani itu bercocok tanam di tempat ini, sementara tak nampak rumah-rumah penduduk di sekitar sini?
Subhaanalloh… Benar-benar pantai Pasir Putih yang indah. Butiran pasirnya benar-benar berwarna putih, dihiasi berbagai kulit kerang yang tersapu ombak menuju tepi pantai. Sementara itu, jauh di hadapan kami nampak karang-karang hitam tegar menghadapi hantaman ombak samudera.
Di tempat ini, saya kembali mengamati dan belajar langsung dari Ustadzuna Luqman Ba’abduh. Bagaimana adab beliau ketika bercanda dan bermain, bahkan ketika meludah. Semoga Alloh senantiasa menjaga beliau di atas al Haq, dan semoga kita bisa meneladani Rosululloh…
Senja telah menjelang… Saat-saat penuh godaan bagi para nelayan. Saat dimana ikan-ikan keluar dari persembunyiannya. Kami pun bergegas kembali ke Majingklak.
Pelangi di Kampung Laut
ditulis oleh : Admin

http://www.ibnutaimiyah.org/category/kisah/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesRiad in FesFree Flash TemplatesFree joomla templatesCréation site internetConception site internetMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates