Sulawesi Tengah
Kabar Tentang Para Muallaf
Akhir
bulan Muharram 1435 H, seorang teman dari Poso mengabarkan bahwa
beberapa orang suku terasing di Desa Dongkalan, Kecamatan
Palasa, Kabupaten Parigi Moutong (PARIMO), Sulawesi Tengah telah memeluk
Islam. Mereka adalah suku terasing Lauje atau yang lebih dikenal oleh
warga setempat dengan sebutan “Orang Bela”, walaupun Bupati PARIMO lebih
menganjurkan untuk memanggil mereka dengan sebutan “Orang Lauje Asli”,
agar lebih menghargai mereka.
Mereka
mendiami pegunungan Pantai Timur (istilah untuk wilayah pesisir timur
Provinsi Sulawesi Tengah). Mayoritas dari mereka memang
sudah dikristenkan karena adanya kegiatan misionaris Kanada atau Amerika
Serikat. Alhamdullillah, beberapa orang dari mereka yang
tersentuh hidayah untuk memeluk Islam sehingga menjadi muallaf. Tentu
saja para muallaf ini sangat membutuhkan bimbingan demi memperkuat
keimanan mereka. “Kami tidak ingin berislam sekadar Islam KTP,”
kata
salah seorang muallaf. Akan tetapi sayang, mereka belum
mendapatkan penanganan serius. Kondisi yang seperti ini membuat mereka
rentan kembali lagi kepada kekafiran. Berdasarkan
pengalaman, banyak warga muallaf yang tidak terbina kembali murtad.
Perjalanan Menuju Kampung Muallaf
Mendengar berita keislaman beberapa
orang tersebut, sejumlah da’i Ahlus Sunnah di Poso dan Palu menyambut
bahagia dengan menemui para muallaf. Jarak dari Poso menuju menuju
Kecamatan Palasa sekitar 300 km, sedangkan dari Palu sekitar 200 km.
Rombongan da’i Poso sepakat untuk bertemu dengan rombongan da’i Palu
di Parigi. Kemudian mereka bersama-sama menuju Kecamatan Palasa. Dengan
bermodalkan nomor HP, pada pukul 14.30 WITA, rombongan meluncur dari
Parigi menuju tempat tinggal para muallaf. Pada pukul 18.30 WITA,
rombongan sudah tiba di desa Dongkalan. Kemudian rombongan langsung
disambut ramah oleh Pak Arsyad (lebih akrab disapa Pak Acat).
Beliau merupakan warga desa Dongkalan yang sering berinteraksi dengan
orang-orang Bela. Dari Pak Acat inilah informasi awal tentang para
muallaf ini didapat.
Beberapa Orang Bela Menjadi Muallaf
Setiap hari Sabtu (hari
pasaran Dongkalan), orang Bela turun membawa barang dagangan dari
gunung, seperti: kayu manis, rotan, bawang merah, dan hasil bumi lainnya
untuk dijual di pasar.
Uang yang didapat mereka gunakan untuk
membeli ikan asin, garam, minyak goreng, dan keperluan lainnya. Sehari
sebelum hari pasar, orang Bela yang turun gunung berinteraksi
dengan kaum muslimin, termasuk Pak Arsyad. Sebagian mereka masuk Islam
lantaran interaksi tersebut, tanpa paksaan. Mereka masuk Islam dengan
dibimbing imam masjid setempat dengan mengucapkan dua kalimat syahadat
lalu dimandikan oleh Imam Masjid. Sebagian mereka juga masuk Islam
lantaran pernikahan dengan warga muslim di sekitar desa Dongkalan.
Namun, setelah mereka masuk
Islam, mereka belum mendapatkan pembinaan intensif dari tokoh setempat
sehingga keadaan mereka cukup memprihatinkan. Kebanyakan mereka belum
mengerti dan mengamalkan amal ibadah wajib.
Seorang warga yang sudah masuk
Islam sejak satu/dua tahun lalu bahkan masih belum mengerti shalat,
puasa, dan dasar-dasar Islam yang lain.
Penulis juga mendapati seseorang yang
masih terbata-bata mengucapkan dua kalimat syahadat. “Kami
baru bersyahadat satu kali saja pak,” ujar salah seorang muallaf.
Jumlah para muallaf desa
Dongkalan hingga sekarang ada 18 KK atau sekitar 60 jiwa. Semuanya
membutuhkan bimbingan. Kehidupan mereka yang di bawah garis kemiskinan
membuat mereka sangat rawan untuk kembali murtad ke ajaran Nasrani.
Taklim Bersama Para Muallaf
Keesokan hari, sekitar jam 08.00 WITA,
rombongan naik ke SD Punsung Lemo guna bertemu langsung dengan para
muallaf dengan menggunakan motor ojek. Karena medan terjal, jalanan
naik turun, dan jarak yang jauh (sekitar 8 km), tarif ojek pun
menyesuaikan. Tarif pulang pergi sejumlah Rp70.000,00, sekali antar
Rp40.000,00. Setelah menaiki banyak tanjakan, tak terlihat perkumpulan
rumah layaknya perkampungan. Akan tetapi, yang terlihat rumah-rumah yang
terpencar di antara kebun yang terjal. Jarang sekali didapati tanah
yang rata.
Itulah tempat tinggal mereka, layaknya
gubuk-gubuk tempat beristirahat di kebun. Hanya saja, mereka telah
mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga atapnya sudah terbuat dari
seng dan berdinding papan. Rumah mereka yang masih asli hanya berdinding
kulit kayu dan beratap daun rotan tanpa paku, sebatas diikat
dengan rotan.
Rombongan tiba di SD Terpencil Punsung
Lemo. Terlihat sekumpulan warga yang berjalan menaiki bukit. Merekalah
para muallaf yang hendak menghadiri taklim (pengajian) di SD Punsung
Lemo. Di antara mereka ada pula warga Bela yang memang sudah
muslim sejak lahir. Tidak lama, mereka masuk ke ruangan kelas untuk
mendengarkan kajian.
Disampaikan saran agar jamaah
wanita dipisah di ruang sebelahnya, mereka memahaminya; sementara
anak-anak mereka bermain di halaman sekolah.
Taklim pun dimulai. Salah satu
dari rombongan menyampaikan beberapa materi kajian Islam: Makna dan
Keutamaan Dua Kalimat Syahadat, Rukun Islam, Tata Cara Thaharah,
Berwudhu, Tata Cara Shalat, dan beberapa adab Islam lain.
Setiap 4—5 menit penyampaian materi, Pak
Andi menerjemahkannya ke bahasa Lauje, karena memang kebanyakanmereka
belum paham bahasa Indonesia.
Alhamdulillah, mereka mendengarkan dengan saksama. Seusai kajian, salah satu dari rombongan membagikan mieinstan kepada muallaf.
Kristenisasi di Tinombo, Palasa, dan Sekitarnya
Menurut warga, misionaris dari Kanada
sudah melakukan misi kristenisasi di Pantai Timur sejak sekitar tahun
40-an. Awal mulanya, ada beberapa penginjil bule yang datang ke
kecamatan Tinombo (sebelah Kec. Palasa). Mereka meminta salah seorang
guru bahasa Inggris di sebuah sekolah setempat untuk menulis kamus
Inggris-Lauje sampai akhirnya mereka menguasai bahasa Lauje.
Mereka kemudian menerjemahkan injil ke dalam bahasa Lauje.
Para penginjil Kanada tersebut tinggal
bertahun-tahun di pegunungan suku terasing La Uje. Dahulu mereka sempat
menggunakan helikopter untuk menjangkau daerah terpencil dalam
menjalankan misi kristenisasi. (Alhamdulillah, sekarang helikopter tersebut sudah tidak terlihat lagi, wallahu a’lam apa
sebabnya). Setelah itu, mereka mulai mendekati beberapa tokoh
dan kepala suku orang Bela. Dengan diiming-imingi pakaian dan makanan,
mereka berhasil mengkristenkan tokoh-tokoh
orang Bela tersebut. Ketika
kepala sukunya sudah masuk Kristen, dengan mudah
masyarakat mengikutinya. Lebih-lebihmereka juga membagikan beras dan
pakaian kepada masyarakat gunung tersebut.
Beberapa
kepala suku yang berhasil mereka rekrut ada yang dikirim ke Kanada.
Akhirnya, kepala suku tersebut menjadi pendeta dan penginjil di gunung.
Beberapa pemuda/pemudi orang Bela juga
mereka kirim ke Perguruan Theology, seperti ke Manado, Tentena (Poso),
atautempat lainnya. Pada akhirnya mereka pulang menjadi pendeta di
gunung.
Seorang Mantan Penginjil Yang Menjadi Muallaf
Setiba rombongan berada di rumah Pak
Acat, beliau langsung menelepon salah satu muallaf untuk turun ke rumah
beliau. Sepulang dari shalat Isya, rombongan sudah mendapati dua orang
duduk di teras rumah Pak Acat. Mereka langsung menyalami keduanya, Pak
Andi dan Pak Asmin.
Pak Andi adalah seorang mantan penginjil
yang baru satu pekan masuk Islam. Beliau sempat mengenyam pelatihan
Penginjil di Manado selama sebulan. Sementara Pak Asmin sudah berislam
sejak lahir, hanya saja istri beliau adalah seorang muallaf.
Dalam kesempatan berjumpa dengan muallaf itu, salah seorang rombongan
menawarkan untuk menyampaikan beberapa ajaran Islam. Keduanya pun
mengiyakan. Sambil berbincang santai, salah seorang di antara mereka
menyampaikan makna dua kalimat syahadat secara ringkas, rukun Islam
lainnya, tata cara thaharah, dan adab Islam lainnya.
Dua orang tersebut mendengarkan dengan
saksama. Bahkan, Pak Andi sempat merekam beberapa penjelasan tersebut
dengan HP-nya. Dengan harapan bisa didengar ulang nanti di rumahnya.
Kemudian mereka menyampaikan kepada Pak
Andi, rencana akan naik ke gunung besok pagi, Insya Allah. Rencana
tersebutdisambut baik Pak Andi, bahkan beliau meminta diadakan
pengajaran Islam di gunung untuk warga muallaf lainnya.
Tidak berapa lama, datanglah Sekdes dan Ketua P3N. Pembicaraan beralih ke topik kondisi orang-orang Bela.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WITA, kedua orang Bela tersebut berpamitan untuk pulang ke rumahnya di gunung.
Semangat Belajar Seorang Muallaf
Walaupun malam mulai larut, Pak Andi dan
Pak Asmin tetap berangkat pulang ke gunung. Dengan sebuah motor bebek,
keduanya menaiki jalan terjal di kegelapan malam sejauh 8 km untuk
sampai di rumahnya. Setibanya di rumah, Pak Andi bukannya langsung
tidur, tetapi membangunkan keluarganya yang sudah
tertidur. “Bangun-bangun, ini ada rekaman pelajaran agama Islam dari Pak
Ustadz. Mari kita dengarkan!”
Mereka pun bangun dan mendengarkan
rekaman tersebut. Pak Andi mengatakan, “Kami
mengulang-ulang mendengarkan rekaman tersebut hingga jam 2 malam, baru
kami tidur.”
Waktu itu istri Pak Andi masih Nasrani. Dengan izin Allah subhanahu wa Ta’ala, beberapa pekan kemudian masuk Islam. Masya Allah,demikianlah semangat seorang muallaf yang ingin mengetahui ajaran Islam. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengokohkan iman Pak Andi sekeluarga.
Esok harinya, masih pagi sekali,
Pak Andi dan Pak Asmin berjalan naik turun bukit untuk menyampaikan
undangan taklim kepada para muallaf lainnya yang akan dilaksanakan di
Ruang Kelas SD terpencil Punsung Lemo.
Sekilas Tentang Kampung Muallaf
Dusun Solongan dan Pungsu, adalah dua
dusun yang bersebelahan, keduanya masih di bawah pemerintahan
Desa Dongkalan. Solongan berjarak sekitar 8 km dari jalan poros,
sementara Pungsu terletak di bawah Solongan. Mayoritas warga Solongan
beragama Nasrani, sementara Pungsu mayoritas muslim. Di kedua dusun
inilah para muallaf tinggal.
Warga Bela di sana hidup dari
sektor pertanian. Secara geografis, kedua dusun tersebut terletak di
atas perbukitan terjal dan berbatu. Lereng-lereng gunung yang sangat
terjal mereka olah menjadi kebun-kebun. Mereka bercocok tanam ubi,
singkong, padi ladang, bawang, cabai, coklat atau cengkih. Pengetahuan
merekatentang pertanian sangat minim sehingga hasil panennya pun sangat
terbatas. Hal inilah yang melatarbelakangi programpembinaan pertanian
kepada mereka demi lebih menambah produktivitas hasil pertanian. Makanan
pokok mereka adalah talas, ubi, singkong, kadang nasi. Ubi/singkong
kadang dibakar atau direbus. Lauk yang paling mereka sukai adalah ikan
asin. Kalau tidak ada ikan asin mereka makan dengan lauk garam dicampur
cabai.
Tidak ada masjid di sana, demikian pula gereja.
Sekilas Tentang Dusun Salamayang
Salamayang
adalah dusun yang sangat terpencil, hanya bisa ditempuh dengan berjalan
kaki selama setengah hari bagi orang Bela yang sudah biasa.
Adalah Pak Nani Hati, beliau
adalah warga Salamayang yang sudah masuk Islam dua tahun lalu. Hanya
saja, beliau masih belum mengenal Islam. Anak dan istrinya masih belum
dibimbing bersyahadat oleh Imam Dongkalan.
Beliau adalah satu-satunya guru di sana.
Sekolah yang beliau kelola hanya beratap terpal, berlantai papan,
tanpa ada dindingnya. Jumlah siswanya 120 orang. Di sana ada 400 KK atau
sekitar 3.000 jiwa yang mayoritasnya masih beragama Nasrani. Hanya saja
kegiatan gereja sudah tidak aktif lagi. Dahulu pernah ada pendeta
Kanada yang tinggal menetap di sana. Akan tetapi, karena suatu kasus,
dia diusir dari Salamayang. Pak Nani Hati menjelaskan bahwa jika warga
Salamayang disentuh dengan bantuan,insya Allah mereka bisa diajak masuk Islam. Beliau siap menjembatani untuk sampainya program dakwah kepada suku terasing di sana.
Pernah ada seorang warga Solongan yang
pernah bertemu dengan sepuluh laki-laki Salamayang yang baru pulang dari
kampung Dongkalan. Ketika ditanya keperluan mereka dari Desa Dongkalan,
mereka menjawab, “Kami ada 10 keluarga ingin masuk Islam, tetapi tidak
ada tanggapan dari Pak Imam.” Kesepuluh keluarga ini dengan penuh
kesedihan pulang ke Salamayang tidak jadi masuk Islam.
Sungguh ironis, sepuluh
keluarga tersebut tidak tersalurkan keinginannya untuk memeluk Islam.
Semoga Allah lmempertemukan mereka dengan hidayah.
Dari
sisi mata pencaharian, mayoritas warga Salamayang bercocok tanam bawang
merah. Bagi yang pernah berkunjung ke Palu, mungkin sudah mengenal
oleh-oleh Bawang Goreng renyah. Dari Salamayang-lah asal bawang goreng
itu ditanam. Mereka berjalan selama setengah hari memikul hasil panen
dari Salamayang menuju pasar. Terkadang bawang hasil panen mereka muat
dengan rakit menyusuri sungai Palasa menuju jalan raya.
Keadaan Salamayang yang sangat terpencil
tersebut membuat petugas pemerintah merasa kesulitan dalam membina
mereka. Pembinaan dari para misionaris Kristen yang sempat menyentuh
mereka sehingga mereka sekarang memeluk agama Kristen.
Pembangunan Gereja Ilegal
Sekitar 3 tahun lalu, masyarakat Desa
Dongkalan sedang disibukkan dengan kerja bakti membangun
pasar Dongkalan. Mereka hampir tidak pernah naik ke kebun di gunung.
Ternyata secara diam-diam, para penginjil Pantekosta di Dusun Pungsu
membangun sebuah gereja, tanpa izin pemerintah dan warga setempat. Warga
dikagetkan dengan adanya undangan kebaktian dari seorang pendeta
perempuan bernama Selvi. Warga bertambah kaget lagi ketika jemaat gereja
yang datang itu ternyata dari luar daerah, seperti dari tentena (Poso),
Bondoyong (Tinombo), dan Manado.
Warga sangat tersinggung
dengan perbuatan para penginjil tersebut. Spontan warga langsung naik ke
gunung danmerobohkan gereja ilegal tersebut. Konon kabarnya, gereja itu
adalah yang terbesar di kecamatan tersebut.
Tidak lama kemudian Danramil, Camat, dan
Kades naik ke lokasi. Mereka juga menyalahkan tindakan para
penginjil tersebut yang membangun gereja tanpa izin pemerintah dan warga
setempat.
Akhirnya, Pendeta Muda Itu Masuk Islam
Para penginjil ternyata sudah menyiapkan
seorang pendeta muda perempuan untuk memimpin jemaat gereja pantekosta
di dusun Pungsu. Arina, seorang gadis belia suku Bela yang telah mereka
kirim ke sebuah sekolah Theology di Manado. Dia mengenyam pendidikan
Pendeta sekitar 3 Tahun di Manado. Mereka harap Arina bisa melanjutkan
misi di dusun Pungsu. Akan tetapi, Allah l memusnahkan impian
mereka. Walaupun gereja ilegal tersebut sudah dirobohkan warga, Pendeta
Selvi masih ngotot terus melakukan kebaktian di rumah seorang warga.
Hanya saja Pendeta Arina sudah tidak begitu aktif memimpin jemaat
lagi. Entah apa yang menyebabkan pendeta Arina tidak aktif memimpin
jemaat.
Karena kevakumannya, Pendeta Selvi
sempat memukul Pendeta Arina. Kurang lebih dua bulan yang lalu,
kaum muslimin Dongkalan mendapat kabar gembira dengan masuk Islamnya
Pendeta muda Arina, menyusul dua kakaknya yang terlebih dahulu masuk
Islam. Ada seorang pria muslim dari dusun Tingkulang yang mempersunting
mantan Pendeta Arina. Akhirnya, mereka berdua dinikahkan oleh imam di
masjid setempat. Semoga Allah l menambah keimanan beliau. Sekarang,
mantan pendeta Arina berpindah ikut sang suami tinggal di Tingkulang.
Keinginan Membangun Masjid
Para muallaf sangat
mendambakan berdirinya sebuah masjid di Dusun Pungsu-Solongan. Mereka
sangat menginginkan bisa belajar Islam bersama anak dan istri mereka di
masjid tersebut. Akan tetapi, karena kurang mendapat dukungan
dari pihak-pihak terkait, keinginan mulia ini belum tercapai.
Sepulang
rombongan da’i Ahlus Sunnah dari kampung muallaf itu, mereka terus
menyampaikan kabar tentang kondisi para muallaf tersebut kepada kaum
muslimin di Poso, Parigi, dan Palu.
Alhamdulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala gerakkan hati kaum muslimin untuk membantu para muallaf dalam meraih cita-cita mulia tersebut.
Tidak lama, terkumpullah belasan karung
pakaian pantas pakai serta sejumlah dana dakwah dan pembangunan masjid.
Sekarang program pembangunan masjid kayu dengan ukuran 8x8m
secara bertahap. Kerangka bangunan dan
atap seng sudah terpasang. Karena keterbatasan tenaga tukang,
pembangunanbelum berlanjut. Tahap selanjutnya adalah pemasangan lantai
kayu dan dinding kayu.
Program Dakwah yang Lain
Berikut ini rencana program dakwah yang akan dilaksanakan di kampung muallaf.
1. Rencana pengadaan sarana MCK, tempat
wudhu, dan pengadaan air bersih. Mengingat langkanya sumber air,
pengadaan air bersih rencana diambil dari sebuah mata air di bukit yang
berjarak sekitar 600 m. Dibutuhkan selang air sebanyak 12 rol dan dua
buah tandon penampungan air.
2. Program pemberangkatan 5 guru ngaji
setiap pekan sekali bergiliran. Mengingat jarak Poso-Palasa sekitar
300 km, dibutuhkan biaya akomodasi para ikhwah Poso yang mengajar
mengaji.
3. Program pembagian santunan
rutin (bulanan) kepada 18 keluarga muallaf. Banyaknya isu fitnah yang
ditebarkan orang yang tidak bertanggung jawab, menyebabkan beberapa
keluarga muallaf terhasut dan tidak mau menghadiri taklim lagi. Dakwah
kepada mereka dilanjutkan dalam bentuk bantuan santunan rutin atau
pembagian sembako dalam rangkamelembutkan hati-hati mereka.
Tatkala penulis menyerahkan santunan sejumlah uang kepada seorang muallaf terlihat matanya berkaca-kaca.
Sampai sekarang, belum ada
santunan rutin yang diberikan kepada tiap warga muallaf, selain
pembagian pakaian pantas pakai, sabun, dan garam dapur. Itu pun baru
terlaksana satu kali.
Demi meredam berbagai isu
fitnah, program santunan juga ditujukan kepada beberapa tokoh adat dan
kepala dusun (orang Bela yang sudah muslim sejak lahir) yang hidup di
bawah garis kemiskinan.
4. Program biaya belajar santri La Uje, alhamdulillah, ada dua santri muallaf yang sudah dikirim ke Poso untuk belajar di Ma’had al-Manshurah dan Pra Tahfizh Poso. Insya Allah, ada beberapa anak muallaf lain yang ingin menyusul mereka untuk belajar di Poso.
5. Pembebasan tanah untuk tempat tinggal imam masjid dan beberapa keluarga muallaf.
6. Program pembangunan beberapa unit
rumah kayu untuk beberapa orang Bela. Aji, seorang muallaf yang
tinggal di dusun Silongkohung. Jika hendak ke lokasi masjid, dia mesti
berjalan kaki
sekitar
empat puluh menit. Dia sangat menginginkan berpindah ke dekat
masjid agar lebih intensif belajar Islam. Hanya saja karena terkendala
biaya, Aji masih belum bisa membangun rumah dekat
masjid. Selain Aji, masih ada beberapa warga Bela yang menginginkan mendekat ke lokasi Masjid.
Setelah masjid dibangun, insya Allah akan
diresmikan oleh pemerintah setempat: Camat, Kepala KUA, atau Kepala
Desa. Sekaligus diadakan bakti sosial sunatan masal, pengobatan gratis,
dan pembagian santunan terhadap para muallaf.
Perizinan Dakwah Kepada Para Muallaf
Sudah
menjadi prinsip dakwah Ahlus Sunnah, setiap langkah dakwahnya
selalu berkoordinasi dengan pemerintah. Sebagaibentuk ketaatan kepada
pemerintah dalam hal ma’ruf. Para du’at yang
hendak
berdakwah kepada para muallaf ini menemui Kepala Desa
Dongkalan, Camat, dan Kapolsek Palasa. Para pejabattersebut secara umum
mendukung program mulia ini.
Proses
perizinan dilanjutkan ke tingkat lebih tinggi dengan menghadap Kapolres
Parimo, Sekda Parimo, dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Parimo.
Dengan kemudahan dari Allah l, surat izin kegiatan dakwah dari Polres
dan Kankemenag Kab. Parimo telah keluar.
Demikian gambaran singkat dakwah kepada para muallaf suku terasing La Uje.
Semoga Allah l mengokohkan keimanan mereka semua. Amin.
(al-Ustadz Abu Hafsh Umar al-Atsari, Poso)
Bagi Anda yang ingin membantu kelanjutan program dakwah ini, dapat disalurkan melalui:
Bank BRI Poso No. Rek. 0072-01-006008-53-0 a.n. SARMIN PAROSO
ATAU
Bank Syariah Mandiri Poso No. Rek. 70-699-3950-8 a.n. ATJO ISHAK ANDI MAPATOBA
CP: al-Ustadz Umar Abu Hafsh (081 383 314 075)
sumber http://asysyariah.com/kisah-mualaf-suku-lauje/
atau lihat juga Majalah asy-Syari’ah No.100/IX/1435 H/2014 hal. 76-83

Alhamdu lillah bagi Alloh yang telah menyelamatkan mereka dari kekufuran.
Dan semoga Alloh memberi kesabaran dan melipat gandakan bagi para pejuang di jalanNya
Posting Komentar