Oleh Ustadz Alfian
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة »
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah
kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas
kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim
1081)
Dalam hadits tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam memerintahkan untuk berpegang kepada ru`yatul hilal
untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, atau apabila gagal maka
ditempuh cara istikmal (menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari).
Namun bersama jelasnya hadits tersebut setiap tahun kaum muslimin
selalu rebut dan berselisih. Sebagian menyatakan bahwa ketinggian hilal
minimal harus 2 derajat baru dinyatakan masuk Ramadhan atau Idul Fitri,
sebagian menyatakan harus 4 derajat, dan masih banyak lagi. Kebingunan
ini semakin rumit, ketika sebagian pihak sudah mengumumkan kapan 1
Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah sejak jauh-jauh hari. Sehingga jauh
hari sebelum Ramadhan datang, sudah terbayang bahwa Ramadhan tahun
tersebut atau Idul Fitri tahun tersebut akan ada dua versi atau umat
Islam pasti tidak barsamaan dalam berpuasa atau berhari raya.
Sebagian pihak menyayangkan situasi perpecahan tersebut. Mereka
mengatakan mengapa umat Islam tidak mau sepakat berpegang pada ilmu
hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri? karena hisab
falaki merupakan ilmu yang sudah sangat canggih dan hasilnya akurat,
tidak keliru. Sehingga hisab falaki bersifat qathi’i sementara ru`yah
adalah zhanni.
Akurasi hisab falaki sebenarnya tidak diragukan lagi. Namun anggapan
bahwa hisab falaki bersifat qath’i tidak bisa dibenarkan. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh pakar hisab dari LAPAN, “Pendekatan murni
astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan
awal bulan yang harus mempertimbangkan syari’at.”
Jadi sebenarnya, hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri
tidak bisa murni, harus “disesuaikan” dengan hukum-hukum syar’i. Maka
tidak bisa lepas dari kriteria-kriteria tertentu supaya sesuai dengan
hukum syari’at, yang itu bersifat zhanni. Sehingga hisab falaki bukanlah
suatu hal qath’i lagi, namun zhanni.
Ada beberapa kriteria hisab falaki,
1. Kriteria Ijtimak(Konjungsi)
Penjelasannya sebagai berikut, sebagaimana diketahui bahwa Bulan
beredar mengelilingi bumi, demikian pula Matahari dalam gerak semunya
mengelilingi bumi. Peredaran Bulan lebih cepat dibanding peredaran
Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, dan itu terjadi
berkali-kali. Pada saat Matahari terkejar oleh Bulan dan keduanya pada
posisi pada garis lurus itulah yang disebut Ijtimak (konjungsi). Menurut
kriteria ini, sesaat setelah ijtima’ sudah terbentuk bulan baru (hilal)
meskipun tidak bisa teramati.
Tentu saja, ilmu hisab falaki dengan sangat akurat mampu menghitung
peredaran Matahari dan Bulan, dan mampu menentukan secara tepat kapan
ijtima’. Namun ketentuan aturan (kriteria) bahwa sesaat setelah ijtima’
itu terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati, dari mana
kriteria ini? Jelas-jelas kriteria ini mengabaikan aturan syari’at
bahwa hilal harus teramati oleh mata. Pakar hisab sendiri mengatakan,
“Bulan baru astronomi atau ijtimak tidak ada dasar hukumnya untuk
diambil sebagai batas bulan qamariyah.”
2. Kriteria Wujudul Hilal
Kriteria ini merupakan “penyempurna” kriteria sebelumnya. Kriteria
ini menyatakan tidak cukup ijtimak, namun harus dilihat posisi Matahari
dan Bulan pada senja hari setelah Ijtimak. Apabila pada senja hari
tersebut Matahari tenggelam lebih dahulu, maka berarti tercapai satu
kondisi bahwa Bulan sudah di atas ufuk (wujud) pada saat Matahari
tenggelam, berapapun ketinggian Bulan/hilal tersebut. Maka keesokan
harinya berarti telah masuk Ramadhan/Idul Fitri. Jadi yang penting
menurut kriteria ini adalah posisi hilal sudah di atas ufuk ketika
Matahari tenggelam paska terjadinya ijtimak. Saat itu hilal sudah wujud
(ada di atas ufuk) meskipun tidak bisa teramati oleh mata. Termasuk
ketika mendung sekalipun, asalkan hilal sudah di atas ufuk, maka besok
sudah bisa berpuasa atau berlebaran.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa menghitung posisi
Bulan/hilal ketika Matahari tenggelam. Berapapun ketinggiannya, entah 20
atau kurang, yang penting sudah di atas ufuk berarti sudah
Ramadhan/Idul Fitri. Namun masalahnya, kriteria ini jelas-jelas
bertabrakan dengan nash hadits. Hadits mempersyaratkan hilal harus
terlihat dengan mata, tidak semata-mata posisi hilal di atas ufuk.
Maka jangan heran apabila kriteria wujudul hilal pun menuai banyak
kritik dari sesama praktisi hisab. Dinilai bahwa kriteria ini sudah
usang, tidak ada landasan hukumnya, dan masih banyak lagi.
3. Kriteria Imkanur Ru`yah (visibilitas hilal)
Kriteria ini tidak hanya mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk
ketika Matahari tenggelam paska Ijtimak, namun memperhitungkan
faktor-faktor lain sehingga mencapai kondisi Imkanur Ru`yah, yakni hilal
memungkinkan untuk dilihat, meskipun tidak harus benar-benar terlihat.
Kemudian dalam menentukan faktor-faktor imkan itulah, para ahli hisab
sendiri berselisih. Ada yang mempersyaratkan ketinggian minimal 20, ada
yang menyatakan minimal 40.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa memperhitungkan
berapa ketinggian hilal tatkala Matahari tenggelam paska Ijtimak, apakah
60 , 50 ataukah 20. Namun bisa berselisih, misalnya jika hasilnya
adalah 20, maka menurut pihak yang mempersyarakat ketinggian minimal
adalah 40 maka belum masuk Ramadhan atau belum Hari Raya, sementara yang
mempersyaratkan 20 maka besok sudah Puasa atau sudah Lebaran. Bingung?
Ada lagi yang memperhitungkan jarak sudut antara Matahari dan Bulan,
ada lagi yang memperhitungkan lebar hilal, dan sekian faktor lainnya.
Dari manakah aturan-aturan tersebut datangnya? Sementara dalam syariat
hanya dituntut hilal harus benar-benar terlihat oleh mata. Tidak sekedar
imkan/visible (mungkin). Jika tidak bisa terlihat, terhalang mendung
atau lainnya, maka ditempuh cara istikmal, meskipun secara hisab falaki
hilal mungkin untuk terlihat karena ketinggian dan umur hilal sudah
memenuhi kriteria secara hisab.
Maka kelompok hisab versi lainnya pun mengkritik tajam kriteria ini.
Dianggapnya bahwa kriteria imkanur ru`yah ini terlalu rumit.
Sehingga sama-sama hisab, hasil hitungan posisi hilal pasti sama,
pasti tepat, pasti akurat. Namun menyikapi hasil hitungan yang akurat
tersebut para ahli hisab sendiri berbeda-beda. Misalnya, ketika
mendapati hasil hisab posisi hilal +010 38′ 40″ dan sebelum telah
terjadi ijtimak pada pukul 11:25:24 WIB; maka kelompok hisab versi
wujudul hilal ini sejak akhir bulan Rajab mereka sudah berani
mengumumkan kapan 1 Ramadhan. Karena menurut mereka posisi hilal yang
demikian berarti hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam.
Sementara kelompok hisab versi imkanur ru`yah akan mengatakan hasil
hisab tersebut menunjukkan bahwa posisi hilal sangat rendah, sehingga
mustahil untuk bisa teramati. Jadi meskipun hilal sudah wujud namun
belum imkan (belum memungkinkan) untuk dilihat/diru`yah.
Lain halnya dengan kelompok hisab versi ijtimak, bagi mereka adalah
kapan ijtimak. Karena sudah diketahui ijtimak telah terjadi pada pukul
11:25:24 WIB maka mereka pun berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan sejak
jauh-jauh hari sebelumnya. Yang kebetulan pengumuman mereka dalam hal
ini sama dengan pengumuman kelompok hisab versi wujudul hilal. Namun
kalau misalnya ijtimak terjadi pada pukul 6 pagi misalnya, belum tentu
sama pengumuman mereka dengan pengumuman versi wujudul hilal, karena
posisi hilal sore harinya masih negatif alias masih di bawah ufuk (belum
wujud). Maka lihatlah, kelompok hisab pun ribut.
Apabila hilal terhalang mendung, maka menurut para ahli hisab, selama
hasil perhitungannya menyatakan hilal sudah wujud, atau sudah imkan
untuk dilihat tetap masuk Ramadhan. Maka jelas-jelas ini bertentangan
dengan nash hadits yang mengatakan, Apabila hilal terhalangi mendung
atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari)
Apabila kita mau kembali kepada bimbingan Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam, beliau hanya mengajarkan kepada kita cara ru`yatul
hilal atau istikmal. Beliau sama sekali tidak menganjurkan umatnya untuk
menjadikan hisab falaki sebagai patokan, dalam kondisi ilmu hisab
falaki sudah ada pada masa beliau, dan sangat memungkinkan untuk
mempelajari ilmu tersebut. Namun beliau justru bersabda,
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah
kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas
kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim
1081)
Beliau juga bersabda,
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب »
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung.
Hadits ini tidak berarti melarang umat Islam untuk belajar membaca
dan menghitung. Namun makna hadits ini adalah untuk menentukan awal
Ramadhan dan Idul Fitri, umat Islam tidak membutuhkan tulisan dan
hitungan. Mereka cukup dengan syari’at yang Allah berlakukan buat
mereka, yaitu menentukannya berdasarkan ru`yatul hilal. Hilal tersebut
harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil/terpercaya, adapun
khusus untuk Ramadhan walaupun satu saksi adil saja sudah cukup. Tidak
boleh pula menjadikan ilmu hisab falaki sebagai landasan untuk menolak
persaksian hilal.
Alhamdulillah, Allah memberikan taufiq kepada pemerintah negeri ini
untuk senantiasa menjadikan ru`yatul hilal sebagai landasan. Sementara
itu para pembela hisab terus berupaya memberikan statemen-statemen yang
membenarkan hisab, di antaranya;
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin
dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan
oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan
sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa
Arafah, dan justru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi
ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu
membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat
merukyat,
Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor
geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik,
yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan
mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4)
faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering
mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa
hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan
teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Sebenarnya, statemen tersebut hanya merupakan upaya justifikasi
(pembenaran) tanpa ada landasan dalil syari’at. Anggapan di atas bisa
dijawab sebagai berikut,
Hisab dianggap lebih memberikan kepastian … dst. Namun ternyata pada
prakteknya ternyata rumit. Karena hisab ternyata tidak bisa diterapkan
secara murni, tidak lepas dari kriteria dan intepretasi, sebagaimana
telah digambarkan di atas. Sehingga kepastian yang “ditawarkan” oleh
hisab pun sulit terwujud.
Hisab dianggap bisa menyatukan penanggalan. Ternyata pada prakteknya
juga nihil. Justru sebalik, hisab pun tidak ada kata sepakat. Antar
versi justru saling menghujat dan menyalahkan.
Maka manfaat apakah yang diharapkan dari hisab, sementara cara hisab
jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya dalam syari’at. Bahkan bertentangan
dengan kesepakatan para Salaful Ummah. Maka sebagaimana ditegaskan oleh
Al-Imam Malik bahwa generasi akhir umat ini tidak akan bisa menjadi
baik kecuali dengan apa yang dengan generasi awal umat ini menjadi baik.
Tidak cukup membela hisabnya mereka balik mencela ru`yah, yang
merupakan ketetapan syari’at. Sungguh keterlaluan!! Tidakkah mereka
menyadari dengan perbuatan mereka mencela ru`yah dan mengunggulkan hisab
berarti mengkritik hukum Allah, berarti mengkritik Syari’at Islam yang
telah sempurna, sebagaimana Allah firmankan :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan
telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah : 3).
Al-Imam Malik rahimahullah menegaskan berdasarkan ayat tersebut bahwa
sesuatu yang bukan bagian dari agama pada hari tersebut (yakni pada
Nabi) maka pada hari ini pun bukan bagian dari agama. Maka sebagaimana
hisab bukan bagian dari ketentuan hukum/syari’at Islam untuk penentuan
awal Ramadhan pada masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam , maka pada
hari ini pun hisab bukan merupakan bagian dari hukum/syari’at Islam.
Menjawab hujatan terhadap ru`yah di atas,
Ru`yah dianggap tidak bisa memastikan tanggal. … dst. Tidak ada masalah
ru`yah tidak bisa memastikan tanggal. Dan praktek sistem hilal ini telah
dipraktekkan oleh umat Islam sejak zaman Nabi, para khulafa`ur
rasyidin, para khalifah setelahnya selama bertahun-tahun, tidak ada
masalah.
Ru`yah dianggap tidak bisa menyatukan tanggal. … dst. Alhamdulillah
ru`yah telah dipraktekkan oleh Umat Islam bertahun-tahun untuk
menentukan Ramadhan dan Idul Fitri, dan mereka bersatu serta tidak ada
masalah. Justru problem muncul tatkala sebagian pihak memunculkan ide
penggunaan hisab falaki. Tanggal berbeda tidak ada masalah dalam
ketentuan hukum Islam, di sana ada pembahasan mendetail dari para ‘ulama
terkait hal tersebut. Yang menjadi masalah adalah penggunaan ilmu hisab
falaki yang tidak ada dasarnya dalam ketentuan hukum Islam.
Banyak faktor yang mempengaruhi ru’yah. Memang benar demikian adanya,
oleh karena itu faktor-faktor tersebut tidak bisa dihisab. Sementara
syari’at memberikan kriteria harus benar-benar terlihat, tidak sekedar
wujudnya hilal di atas ufuk atau imkan/visible-nya hilal untuk dilihat
walaupun tidak benar-benar terlihat. Kalau sekedar wujud atau
imkan/visible ya memang bisa dihisab. Namun, kriteria yang dikehendaki
dalam syari’at adalah ru`yah alias benar-benar terlihat. Meskipun secara
hisab hilal sudah wujud atau imkan, namun faktanya tidak berhasil
diru`yah, atau terhalang mendung maka belum masuk Ramadhan atau Idul
Fitri.
Oleh karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi ru`yah, maka ru`yah
bisa berhasil bisa gagal, dan syari’at tidak mengharuskan ru`yah itu
selalu berhasil. Justru syari’at memberikan alternatif ketika ru`yah
gagal yaitu dengan cara istikmal. Maka menjadikan faktor geosentrik dan
atmosferik sebagai poin kritik terhadap ru`yah merupakan pemutarbalikan
fakta. Justru faktor tersebut merupakan di antara penghalang terbesar
kenapa hisab tidak bisa dijadikan patokan untuk penentuan Ramadhan dan
Idul Fitri.
Adapun faktor halusinasi dan psikologis yang disebut-sebut sebagai
penyebab kesalahan para peru`yah sebenarnya merupakan tuduhan yang
dipaksakan oleh kelompok hisab. Dengan tuduhan tersebut mereka
mementahkan persaksian ru`yah apabila berbeda dengan hisab. Atau
sebaliknya, menihilkan faktor ini apabila bersesuaian dengan hisabnya.
Contohnya peristiwa pada Idul Fitri 1432 H / 2011 kemarin! Tatkala
sampai laporan persaksian hilal, yang ketika itu hasil hisab menyebutkan
ketinggian hilal hanya +010 49′ 57″. Maka kubu hisab Imkanur Ru`yah
menyatakan hilal dengan ketinggian tersebut mustahil terlihat. Maka
mereka menolak persaksian tersebut. Karena dinilai persaksian tersebut
tidak valid, tidak ilmiah, … dst. Mengapa demikian, lagi-lagi di
antaranya masalah halusinasi atau faktor psikologis para peru`yah.
Sebaliknya kubu hisab wujudul hilal membela persaksian tersebut. Kata
mereka, kenapa persaksian tersebut ditolak, padahal Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam dulu ketika ada yang bersaksi diterima, ….
dst, demikian pembelaan mereka. Sudah tidak ada lagi kekhawatiran
kesalahan peru`yah karena faktor halusinasi atau faktor psikologis.
Padahal, jika kita mau objektif, masalah faktor psikologis atau
halusinasi ini justru muncul karena pengaruh hisab. Karena jauh-jauh
hari sudah diketahui hasil hisab, sehingga para peru`yah terpengaruh dan
merasa bahwa hilal harus terlihat berdasarkan hasil hisab tersebut.
Akibatnya mempengaruhi pandangan mereka tatkala melakukan observasi
(proses ru`yah) di lapangan. Maka ini justru pengaruh negatif adanya
hisab falaki. Sehingga menjadikan masalah ini sebagai kelemahan cara
ru`yah yang ditetapkan syari’at merupakan pemutarbalikan fakta dan
kesombongan!
Maka tidak ada alasan bagi kaum muslimin kecuali mereka mau kembali
kepada ketetapan aturan hukum-hukum/syari’at Islam secara total.
Termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu dengan cara
yang telah ditetapkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa
sallam, yaitu ru`yatul hilal atau istikmal.
Sebagaimana ditegaskan oleh banyak para ‘ulama – yang berkomitmen di
atas prinsip-prinsip Ahlus Sunnah – di antaranya oleh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz rahimahullah bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam
masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,
Pertama, meninggalkan hisab falaki
Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.
Hanya dengan dua cara tersebut Umat Islam akan bisa bersatu.
Sementara sangat disayangkan, di negeri ini penggunaan hisab falaki –
dengan berbagai versinya – justru banyak disuarakan oleh ormas-ormas
Islam yang katanya ingin memperjuangkan dakwah Islam. Sangat
disayangkan, mereka ingin memperjuangkan Islam namun dengan cara-cara
yang justru bertentangan dan menginjak-injak syari’at Islam itu sendiri.
Kaum muslimin dituntukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
untuk memulai Ramadhan dan Ber idul Fitri selalu bersama-sama dengan
Jama’ah (Pemerintah) mereka. Tidak berjalan sendiri-sendiri,
masing-masing menentukan Ramadhannya dan Idul Fitrinya. Namun penetapan
Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha merupakan tugas dan kewenangan
pemerintah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam :
« الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون »
Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama
pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul
fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika
kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah). (HR. At-Tirmidzi
697)
Maka atas segenap kaum muslimin adalah mereka mengikuti pengumuman
pemerintah dalam penetapan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Semoga
Allah senantiasa memberikan taufiq kepada pemerintah negeri untuk
menjalankan sistem ru`yatul hilal atau istikmal sebagai landasan dalam
mengumumkan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Alhamdulillah setiap
tahunnya pemerintah senantiasa memperhatikan laporan persaksian dari
berbagai titik Pos Observasi Bulan (POB) yang tersebar di sekian tempat
di nusantara ini.
Apabila suatu ketika ada persaksian hilal yang ditolak oleh
pemerintah, maka wewenang keputusan ada di tangan pemerintah, adapun
kaum muslimin wajib mentaati keputusan pemerintah tersebut. Al-Imam
Ahmad dan ‘ulama lainnya mengatakan, “Berpuasa dan beridul fitri
dilaksanakan bersama penguasa dan kaum muslimin, baik ketika cerah
maupun mendung.” Al-Imam juga mengatakan, “Kalau seandainya terjadi
bahwa kaum muslimin berupaya melihat hilal pada malam ke-30 namun tidak
berhasil, maka mereka menempuh cara istikmal 30 hari, namun ternyata
kemudian sampai berita bahwa sebenarnya hilal terlihat pada sore hari
malam ke-30 tersebut maka mereka mengqadha’ satu hari itu yang mereka
terlanjur tidak berpuasa pada hari tersebut. Yang demikian tidak
mengapa, mereka mendapat udzur bahkan mendapatkan pahala. Namun kalau
seandainya mereka berpuasa berdasarkan berita dari ahli hisab, maka
mereka tetap berdosa meskipun benar harinya. Karena mereka telah beramal
berdasarkan sesuatu yang tidak diperintahkan.”
Sumber : Salafy.or.id