Jika ingin bepergian
ke sebuah tempat, barangkali pertanyaan pertama yang harus dijawab
adalah, “Apakah ada sinyal di sana?”. Dengan demikian kita bisa
menyesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Untuk zaman sekarang,
komunikasi telah menjadi sebuah kebutuhan primer. Sebab, salah
komunikasi hanya akan berakhir dengan kepiluan.
Pengalaman semacam ini
saya rasakan beberapa waktu yang lalu. Bertugas selama 23 hari di
pedalaman Badui daerah Ma’rib, telah membuat saya putus komunikasi
dengan dunia luar. Bagaimana tidak putus, operator dari kartu hape yang
saya gunakan belum membangun fasilitas pemancar di daerah sana. Bisa
dibayangkan bagaimana sedihnya.

ma’rib
Padahal…kemanapun
pergi, saya selalu aktif berkomunikasi dengan istri dan ibunda. Lalu apa
yang harus dilakukan? Akhirnya saya memberanikan diri untuk meminjam
alat komunikasi dari penduduk setempat yang berbasis CDMA milik
pemerintah. Itu pun belum cukup sampai di situ! Untuk memperoleh sinyal
aktif, saya harus mendaki sebuah bukit di belakang desa. Di atas bukit
itu pun seringkali sinyal putus-putus. Sebuah pengalaman yang tak akan
terlupakan.
_____00000_____
Menjelang Dzuhur pintu
kamar saya diketuk orang dari luar. Sambil memanggil-manggil nama saya,
orang itu terus mengetuk pintu kamar. Ada rasa malas yang mengiringi
langkah kaki untuk membuka pintu karena gaya mengetuknyayang kurang pas
di hati.
“Ah…Muhammad! Apa
kabar? Ayo masuk ke dalam!”, saya berseru setelah mengetahui siapa yang
datang bertamu.Muhammad adalah seorang kenalan yang berasal dari
pedalaman Ma’rib,orang Badui.Ketika musim libur setelah Idul
Fitri,beberapa orang dari kampungnya –termasuk dia- datang belajar ke
Pondok Dzamar. Saat itu saya beberapa kali diundang makan malam oleh
mereka.
Muhammad hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.Katanya, “Ndak…Kamu siap-siap saja. Sebentar lagi kita akan berangkat!”.
“Kemana?”, tanyaku.
Ia menjawab, “Kamu akan kami ajak ke kampung kami di Ma’rib selama sebulan”.
Sebulan? Hiiii…siapa
yang mau meninggalkan kegiatan di Pondok selama sebulan.Bagaimana dengan
pelajaran-pelajaran? Bagaimana dengan setorang hafalan Al Qur’an?
Bagaimana dan bagaimana?
“Ah…jangan
bercanda lah! Masak sebulan? Kalau dua minggu mungkin saya masih bisa
pikir-pikir. Kalau sebulan, saya tidak mau”, jawabku.
Kata
Muhammad, “Kalau kamu tidak percaya,sana kamu temui Syaikh Utsman di
Perpustakaannya. Kami sudah menyampaikan rencana ini kepada beliau dan
beliau pun setuju”.
Akhirnya saya bergegas
turun ke lantai dua, Perpustakaan Syaikh Utsman berada. Dan memang
benar kata Muhammad, Syaikh Utsman menugaskan kami untuk tinggal di sana
selama dua puluh lima hari. Awalnya saya berusaha untuk menawar hanya
dua minggu saja. Sebab, sejak semula Syaikh Utsman menentukan waktu
sebulan untuk kami. Namun akhirnya beliau memberi kelonggaran untuk kami
selama dua puluh lima hari saja.
Malamnya selepas Isya’
adalah momen manis yang akan sulit terlupakan. Tidak biasanya di malam
hari Syaikh Utsman naik ke lantai tiga, ke asrama santri-santri Dzamar.
Ternyata beliau sengaja mencari saya. Indah dan hangat sekali ketika
tangan beliau yang halus menggenggam tangan saya sambil menggandeng
menuju salah satu sudut di lantai tiga.
“Sebenarnya saya tidak
sampai hati menugaskan kamu ke kampung Badui. Namun bersabarlah dan
berharaplah pahala dari Allah. Sebab, apa yang akan engkau lakukan di
sana adalah bagian dari dakwah juga”, pesan Syaikh dalam nasehat beliau.
Syaikh melanjutkan,”Saya telah menitipkan sejumlah
uang dan buku di toko depan sana. Besok uang itu kamu ambil dan simpan
di dalam sakumu untuk membeli keperluanmu selama di sana. Adapun
buku-buku itu, kamu bagi-bagikan untuk orang-orang di sana”.
Alhamdulillah… Saya
mencintaimu, wahai Syaikh Utsman, karena Allah. Segala syukur dan puji
hanya untuk Allah yang telah mengabulkan cita-cita saya untuk duduk
bersimpuh belajar di hadapan Syaikh Utsman. Banyak hal yang telah saya
pelajari dari beliau, terutama ilmu Mengendapkan Rasa.
Sungguh, Syaikh Utsman
selalu menghiasi waktunya dengan senyum terkembang. Beliau mengajarkan
secara nyata bagaimanakah rasa kasih dan sayang harus ditunjukkan kepada
orang lain. Mudah memaafkan pun sangat terlihat dari keseharian beliau.
Rasa-rasanya mesti ada tulisan khusus tentang Syaikh Utsman dalam hal
ilmu Mengendapkan Rasa.Hafidzahullah ta’ala.
_____00000_____
Pagi-pagi benar kami
berangkat. Tim kami terdiri dari tiga orang. Seorang kawan dari Yaman,
seorang lagi dari Somalia Land dan saya sendiri. Tim penjemput terdiri
dari delapan orang yang dipimpin oleh seorang polisi yang bertugas
sebagai Mudir Amn Manthiqah (semacam Kapolsek) di daerah tersebut. Mobil
yang digunakan pun mobil dinas polisi tersebut. Berwarna putih biru
muda dan bertipe bak belakang.

ma’rib
Perjalanan menuju
lokasi ternyata amat sangat melelahkan. Lima jam lebih sedikit waktu
yang kami perlukan untuk tiba di lokasi. Bayangkan saja! Jalan beraspal
yang kami lewati hanya kurang lebih sepuluh kilo meter. Sesampainya di
batas kota tidak ada lagi aspal yang menemani. Semuanya adalah tanah
berbatu, kerikil dan terkadang pasir lembah seperti pasir di pantai
Srawu Pacitan.
Empat jam lebih rute
perjalanan kami tempuh dalam relief-relief alam yang sangat menakjubkan.
Saya membayangkan sedang berada di celah-celah sempit Grand Canyon.
Kanan kiri kami adalah gunung-gunung batu terjal dan berwarna hitam.
Ngarai-ngarai kami lewati. Hanya pohon dan tetumbuhan berduri yang
sesekali kami lewati. Selebihnya adalah hamparan batu, pasir dan
jurang-jurang kecil.
Sering juga mobil kami
menerobos aliran sungai kecil. Kolam-kolam bening yang berada di bawah
tebing-tebing itu adalah sisa-sisa dari Sail (banjir di musim penghujan)
yang terjadi hanya beberapa kali saja dalam setahun. Ikan-ikan terlihat
asik bergerombol. Ada yang kecil bahkan ada yang sebesar tangan. Sebuah
pemandangan yang tidak bisa ditemui di setiap tempat di Yaman.
Subhaanallah! Ono
Kinjeng…Ya, seumur-umur di Yaman, baru kali ini saya menyaksikan capung.
Ada juga katak-katak kecil. Berbagai macam burung khas Timur Tengah
juga turut memeriahkan suasana perjalanan. Sesekali kami berpapasan
dengan rombongan unta yang sedang digembalakan oleh orang-orang Badui.
Dalam suasana semacam itu, kedua tangan harus berpegang erat dengan
sisi-sisi mobil karena kami duduk bersama di bak belakang.T entunya
dibumbui candaan antara kami. Sungguh sebuah adventure!!!
“Lembah
ini…Ngarai-ngarai ini…Sungai-sungai ini…semuanya adalah bagian dari
Lembah Saba’ yang airnya mengalir sampai ke Bendungan Saba’. Jika musim
penghujan tiba, masing-masing orang akan berdiam di kampungnya sebab
tidak ada jalur transportasi yang bisa dipakai”, jelas salah seorang
dari mereka.
Sungguh menakjubkan!

ma’rib
Kami melintasi
ngarai-ngarai dan lembah yang mungkin lebarnya hanya lima puluh meter
atau lebih sedikit. Kami seakan berada di antara jepitan-jepitan gunung
batu yang curam. Perjalanan ini akan saya abadikan selalu dalam ingatan,
insya Allah. Perjalanan menuju sebuah kampung Badui.
_____00000_____
Tugas yang
diembankan Syaikh Utsman untuk kami sebenarnya tidak mudah. Saya
terpilih dalam anggota Tim bukan karena kemampuan dan keahlian. Saya
terpilih karena ketika musim liburan tiba dan beberapa orang dari
Kampung Badui tersebut datang ke Pondok Dzamar untuk belajar, saya akrab
dan kenal dekat dengan mereka. Ya, saya terpilih dalam Tim tersebut
karena sudah dianggap dekat dan akrab. Mudah bergaul, kata mereka.
Mengadakan Pesantren
Kilat untuk anak-anak sekolah adalah salah satu tugas kami. Ada empat
puluh lima anak lebih yang akhirnya aktif di dalam kegiatan yang kami
adakan. Selepas shalat Ashar hingga menjelang Maghrib, anak-anak itu
kami kumpulkan di sebuah masjid Jami’. Masing-masing menyetorkan
hafalannya dan sesekali kami memberikan sedikit materi tentang aqidah,
fiqih dan doa-doa.
Di kampung tersebut
ada tiga buah masjid dan kami pun sepakat untuk membagi diri.
Masing-masing kami bertugas untuk menjadi imam shalat lima waktu di
ketiga masjid tersebut. Selepas shalat Dzuhur kami juga memberikan
sebuah kultum untuk para jama’ah. Malamnya di antara Maghrib dan Isya’,
kami menyampaikan pelajaran. Saya sendiri memilih untuk membacakan kitab
sejarah karya Ibnu Katsir yang berjudul Al Fushul fii Siiratir Rasuul.
Kenapa saya memilih sirah? He…he…sirah itu hanya membacakan dengan
sedikit menyesuaikan intonasi dan mimic. Jadi tidak perlu banyak-banyak
menjelaskan karena keterbatasan saya dalam berbahasa Arab.
Terkadang kami
kebagian tugas untuk khutbah Jum’at dan muhadharah di beberapa desa
tetangga. Walaupun tugas ini tidak sesuai dengan kemampuan saya,namun
banyak sekali manfaat dan pelajaran-pelajaran hidup yang terpatri di
dalam hati selama dua puluh tiga hari di sana. Alhamdulillah ‘ala kulli
haal.
_____00000_____
Nama desa yang kami
tempati selama bertugas adalah Kaulah. Desa itu termasuk dalam kecamatan
Rahabah di Propinsi Ma’rib, bagian utara negara Yaman. Untuk sampai ke
ibukota propinsi dibutuhkan minimal empat jam perjalanan. Sementara
jarak antara ibukota propinsi Ma’rib sampai ke Shan’a minimalnya empat
jam. Kampung kami tercatat sebagai salah satu bagian dari kabilah Murad
yang tersohor itu. Seorang tabi’in yang disebut-sebut sebagai sayyidut
tabi’in (pemukanya generasi tabi’in) juga berasal dari kabilah tersebut.
Ya…Uwais Al Qarani Al Muradi kampungnya hanya berjarak satu jam
perjalanan dari tempat kami berada. Sebagaimana layaknya kehidupan
Badui, kampung kami pun demikian adanya. Tidak ada listrik yang
mengalir. Mengandalkan sebuah generator besar, kampung kami dan beberapa
kampung tetangga hanya bermandikan listrik empat jam sehari semalam.
Ketika adzan Maghrib berkumandang, generator itu dihidupkan dan akan
dimatikan pada pukul sepuluh malam.
Kehidupan mereka amat
sangat sederhana banget! Rumah-rumah mereka disusun dari batu-batu
gunung yang memang tersedia secara melimpah. Tanpa semen atau bahan
semisalnya. Kekokohannya hanya mengandalkan keahlian di dalam menjepit
dan mengunci batu-batu tersebut. Lantai rumah pun tidak bersemen apalagi
berkeramik. Hanya tanah yang diratakan dan dikeraskan.

ma’rib
Masing-masing rumah
memiliki kandang sapi, kambing dan keledai. Ya…penghasilan utama mereka
memang dari beternak. Jangan heran jika ada di antara penduduk kampung
yang memiliki ratusan ekor kambing! Di samping itu mereka berladang dan
bercocok tanam. Gandum adalah pilihan utama di dalam berladang. Sebab,
gandum adalah makanan pokok mereka.
Kegiatan sehari-hari
di sana tentu amat membosankan bagi yang telah mengecap kehidupan kota.
Shalat Shubuh lalu tidur kembali. Setelah sarapan pagi berangkat ke
ladang sampai waktu Dzuhur. Makan siang dan dilanjutkan tidur (sebagian
besar nge-qaat,sebuah adat Yaman yang perlu dijelaskan secaraterpisah).
Sore hari hanya duduk-duduk sambil minum kopi Yaman menanti malam.
Selepas shalat Isya’ dilanjutkan dengan tidur. Ya…hanya seperti itulah
kegiatan mereka!
Kegiatan yang sangat
sederhana! Tidak banyak acara karena memang tidak ada pilihan selain
itu. Namun apakah mereka mengeluh? Tidak! Mereka begitu amat menikmati
kehidupan yang semacam itu. Mereka tidak mengenal dunia luar. Bahkan
masih banyak di antara mereka yang belum pernah ke ibukota. Kehidupan
Badui!
_____00000_____
Masih banyak di antara
mereka yang tidak dapat membaca ataupun menulis (jadi ingat Papua
nie…). Alhamdulillah generasi yang belakangan ini sudah mengalami
kemajuan di dalam hal menulis dan membaca. Namun, walaupun kepada orang
yang telah mengenyam pendidikan di antara mereka, jangan berharap bisa
memberikan jawaban pasti,” Tanggal, bulan dan tahun berapa kamu
dilahirkan?”. He…he…pasti ia akan tertawa kecil sambil menggelengkan
kepala…
Jangan tanyakan lagi
tentang kedermawanan mereka! Baru kali ini saya benar-benar melihat
secara langsung kedermawanan orang Arab yang sangat terkenal itu.
Bayangkan saja jika Anda dalam waktu tiga minggu berturut-turut, setiap
makan siang selalu daging kambing sebagai menu utamanya! Pantas saja
kata kawan-kawan sepulang dari sana,pipimu tambah tembem.
Dua puluh tiga hari di
sana hanya tiga atau empat kali saja kami makan siang dengan lauk
daging ayam. Selebihnya adalah daging kambing! Ada empat kali kesempatan
saya menyaksikan pengalaman baru selama di sana. Kami diundang makan
siang oleh mereka. Dua ekor kambing dipotong untuk menyambut kami yang
kira-kira berjumlah dua puluh orang.
Luar biasa!
Dua ekor kambing itu
dimasak dengan potongan-potongan besar lalu dihidangkan di hadapan kami
dalam dua buah nampan besar. Tidak ada sedikit pun bagian kambing yang
diambil oleh tuan rumah. Dua ekor kambing utuh itu dipotong-potong di
hadapan kami sebagai bukti bahwa semuanya untuk tamu. Tidak ada yang
disisakan untuk tuan rumah!
Kemudian?
Salah seorang dari
tamu berdiri dan mengambil dua potong paha dan menyerahkannya kepada
tuan rumah sambil bersumpah,” Aku bersumpah atas nama Allah, kalian
harus menerima ini untuk kalian sendiri!”. Tuan rumah masih berusah
untuk menolak namun tamu itu tetap saja memaksa. Dan dua potong paha itu
pun untuk tuan rumah dan keluarganya.
Orang-orang Badui
semacam mereka pun dikenal dengan kepahlawanan dan keberaniannya.
Kisah-kisah mereka yang diabadikan dalam epos-epos perang seringkali
saya dengar. Dan jangan lupa bahwa orang-orang Yaman telah mengambil
peran penting di masa awal-awal Islam di dalam membela dan menolong
Rasulullah. Peran tersebut tetap berlangsung sampai di masa tabi’in dan
seterusnya. Ya, pasukan Yaman sering disebut sebagai Al Madad (bala
bantuan).
Secara wawasan umum,
mereka pun tergolong tertinggal. Buktinya banyak dari mereka yang tidak
mengetahui di manakah letak negara Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari
mereka yang beranggapan bahwa Indonesia itu terletak di jazirah
Afrika.Ada juga yang menyangka Indonesia, Cina, Jepang dan Korea saling
bertetangga dekat.
Mereka hanya
geleng-geleng kepala tanda takjub ketika saya bercerita tentang bumi
Indonesia. Jarak tempuhnya yang menghabiskan sepuluh jam di atas
pesawat, jumlah penduduknya, gambaran alam Indonesia dan berbagai hal
tentang Indonesia. Ya, dan mereka hanya takjub dan terkagum-kagum ketika
mendengar tentang Indonesia.
Secara agama? Walaupun mereka adalah orang-orang
Badui yang tinggal di pedalaman dan terbelakang, secara praktek
keagamaan mereka sangat luar biasa. Mereka hanya mengenal Al Qur’an dan
As Sunnah sebagai landasan hidup. Meskipun secara prakteknya belum tepat
semua.
Mereka membenci paham
demokrasi yang menyamakan suara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan, paham demokrasi yang menyamakan antara pendapat seorang
pemuka kabilah dengan seorang gelandangan. Mereka sangat mengagumi
Syaikh Muqbil yang telah berjasa mendakwahkan Al Qur’an dan As Sunnah di
seluruh penjuru Yaman. Sungguh, mereka sangat patuh ketika ayat dan
hadits dibacakan.
Subhaanallah!
_____00000_____
Saba’ adalah sejarah besar dunia yang meninggalkan
kesan mendalam. Saba’ adalah nama seorang nenek moyang orang-orang Yaman
yang kemudian digunakan sebagai nama daerah dan nama kerajaan besar di
masa lalu. Negerinya amatlah indah dan makmur. Aman sentosa dan gemah
ripah loh jinawi. Bahkan Allah menyebutnya sebagai baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafuur. Namun semua tinggal cerita…
Allah mengabadikan kisah hancurnya kerajaan Saba’
yang terkenal dengan istana Bilqisnya di dalam Al Qur’an.Bahkan surat
yang berisi tentang kisah mereka pun dinamakan dengan surat
Saba’.Lihatlah bagaimana Allah menceritakannya!
Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan
Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan
dan di sebelah kiri.(kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari
rezki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya.(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabb-mu) adalah Rabb
Yang Maha Pengampun”. (QS. 34:15)
Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami
ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon)
yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (QS. 34:16)
Demikianlah Kami
memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka.Dan Kami tidak
menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang
yang sangat kafir. (QS. 34:17)
Dan kami jadikan
antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat
kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara
negeri-negeri itu (jarak-jarak)perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota
itu pada malam dan siang hari dengan aman. (QS. 34:18)
Maka mereka
berkata:” Ya Rabb kami jauhkanlah jarak perjalanan kami”, dan mereka
menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan
Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi
setiap orang yang sabar lagi bersyukur. (QS. 34:19)
Saya membayangkan
sambil mendengar penuturan seorang kakek tua yang bercerita tentang
keindahan Saba’ di masa lalu. Jari telunjuk kakek tua itu seakan tak
kenal lelah mengarahkan pandangan saya menyaksikan gunung-gunung
membentang dan ngarai-ngarainya. Saat itu kami berada sedang berada di
sebuah bukit di atas kampung itu.
Subhaanallah! Saba’ di
masa itu pastilah indah! Kebun-kebun yang dipenuhi dengan berbagai
macam buah-buahan. Tanpa memetik atau memanjat, buah-buah itu telah
berjatuhan di atas keranjang yang diletakkan di atas kepala. Seorang
penduduk Saba’ saat itu cukup berjalan berkeliling melintasi kebun-kebun
sambil membawa keranjang di atas kepalanya. Dan saat ia keluar,
keranjang itu telah penuh dengan buah-buahan. Tanpa memetiknya!
Air begitu melimpah
dengan bendungan yang sangat besar, kokoh dan kuat. Ikan-ikan menjadi
santapan lezat bagi penduduk Saba’. Semua kenikmatan dunia dicurahkan
untuk mereka. Namun pada akhirnya semua itu hanya tinggal cerita. Ya,
karena mereka kufur nikmat dan tidak mensyukuri sebagaimana mestinya,
Allah pun menurunkan adzab untuk mereka. Pelajaran untuk orang-orang
setelah mereka (termasuk kita) bahwa nikmat yang tidak disyukuri, suatu
saat akan dicabut, hilang dan berganti dengan kepedihan.
Saya sekarang pernah
menyaksikan seperti apakah pohon-pohon yang menggantikan kebun-kebun
indah itu. Pohon Khamt, pohon Atsl dan pohon Sidr. Pohon-pohon yang
sangat kecil manfaatnya. Pohon-pohon kering dan penuh dengan dedurian.
Pepohonan yang menggantikan kebun-kebun buah.Pepohonan yang tidak dapat
dimanfaatkan kecuali hanya untuk kayu bakar saja.
Astaghfirullah…Sudah berapa banyak nikmat Allah yang kita abaikan dan tidak kita syukuri???
_____00000_____
Sepanjang malam saya
selalu mendengar suara keledai yang memecah keheningan. Suaranya amat
menyayat hati. Panjang dan tidak menyenangkan. Pantas saja jika Allah
menyebutnya di dalam Al Qur’an sebagai ankarul ashwaat (seburuk-buruk
suara). Hampir setiap rumah memelihara keledai yang berfungsi sebagai
alat pembawa air, kayu bakar atau semisalnya. Pantas saja jika
sehari-hari, terutama malam, kampung itu dipenuhi dengan suara keledai.
Di siang hari, suara
angin berhembus amat sangat khas. Topan-topan kecil bergerak
memutar-mutar. Bising namun bukan bising. Sampah-sampah kecil ikut
terbang terangkat oleh angin-angin tersebut. Saya harus menutup wajah
jika angin-angin itu mulai datang. Angin-angin yang membentuk
topan-topan kecil itu memang khas di daerah Badui.
Jika saya ditanya,
view dan pemandangan apakah yang paling indah selama di sana? Pasti saya
akan menjawab,”View langit di arah timur ketika malam datang!”. Selama
ini saya sangat mengagumi keindahan ciptaan Allah ketika malam datang di
ufuk barat. Detik-detik ketika bola matahari tenggelam (jadi ingat
ketika menyaksikan matahari tenggelam di pantai Selatan he…he…) Indah
sekali!
Namun, ufuk timur
ternyata juga tak kalah indahnya. Saya sering menikmati view
tersebutbersama seorang kakek tua yang telah menjadi muadzin selama enam
belas tahun. Dari balik jendela masjid yang berjeruji, sebuah masjid
yang berada di atas bukit, kami berdua sering menikmati momen-momen itu.
Siang yang terus digeser dan didorong oleh gelapnya malam. Langit
kebiruan masih berusah untuk bertahan di sela-sela cahaya teja kemilau
matahari. Berbagai warna, entah warna apa namanya, saling berpendar
jatuh di atas gunung dan bukit yang bersaf-saf.
Apalagi satu dua
bintang kecil bersusulan muncul. Bintang Zuhroh yang paling terang
cahayanya semakin menambah syahdu. Dan potongan rembulan pun akhirnya
muncul. Sambil tersenyum kecil, setelah membaca dzikir petang, saya
menaruh asa dan harapan pada Dzat yang telah mengatur alam ini yang
sedemikian indahnya. Ya Allah…kabulkanlah semua doa-doaku….Amin.
_____00000_____
Pakaian putihku selama
di sana nampak lusuh, kumuh dan penuh noda. Bagaimana tidak seperti
itu, pakaian saya pakai selama sepekan tanpa diganti. Barangkali sudah
mulai tertular kehidupan Badui. Suatu saat saya sudah merasa bahwa
pakaian yang sedang saya pakai layak diganti dengan pakaian yang
lain.Warnanya sudah bukan putih lagi! Akan tetapi rencana itu saya
urungkan. Kenapa? Setelah membanding-bandingkan dengan pakaian
orang-orang di sana, ternyata pakaian saya masih tetap yang paling
bersih dan putih.He…he…
Selama di sana, bau
badan, keringat dan setiap cairan yang dikeluarkan oleh tubuh pasti
beraroma sapi atau kambing. Sebab, makanan dan minuman yang dikonsumsi
tidak jauh-jauh dari sapi dan kambing. Masakan selalu menggunakan minyak
samin. Minuman pun sering dikombinasikan dengan susu kambing.
Untungnya, setiap orang di sana memiliki bau badan yang sama. Sehingga
tidak ada yang merasa terganggu dengan bau badan kita.
Pengalaman! Pengalaman…
_____00000_____
Sebuah keajaiban yang
menurut saya sangat mengherankan adalah sungai-sungai yang mengandung
garam. Sebelumnya saya sudah pernah mendengar bahwa di Yaman ada dua
jenis garam ; garam laut dan garam gunung. Garam gunung adalah garam
yang dihasilkan dari beberapa gunung di propinsi Ma’rib. Namun baru di
sebuah pagi saya benar-benar percaya dengan berita tersebut.
Pagi itu kami berjalan
mencari suasana baru.Beberapa ratus meter kami naik turun bukit yang
akhirnya membawa kami di sebuah aliran sungai di ngarai landai. Ada
sesuatu yang aneh…tumpukan tipis berwarna putih menghiasi sepanjang
sungai yang telah mengering airnya.Garam gunung??? Saya mengambil
sedikit lalu mencicipnya…Subhaanallah! Asin…inikah yang disebut dengan
garam gunung?
“Sebenarnya ada gunung
garam di sana. Kamu tinggal mencangkul saja karena semuanya adalah
garam. Ketika banjir di musim penghujan, air membawa garam-garam
tersebut mengikuti alirannya”,kata seorang penduduk kepada saya.
Subhaanallah!
_____00000_____
Sepekan lebih di sana
ternyata saya harus melewati beberapa hari dengan banyak-banyak
berbaring. Badan menggigil, batuk, pilek juga demam tinggi di malam
hari. Barangkali adaptasi cuaca. Atau juga mungkin faktor air minum yang
langsung diambil dari sumur-sumur sekitar. Selama beberapa hari itu,
saya hanya membeli dan mengkonsumsi air mineral. Kurang lebih 100.000
rupiah saya habiskan untuk membeli air mineral. Perbotolnya di sini
seharga 100 Real yang jika dikonversi dalam rupiah menjadi 5.000.
Setiap malam sebelum
tidur saya usahakan untuk makan bawang putih mentah. Untuk kekebalan
tubuh, kata sebagian orang di sana. Setiap siang tidak lupa beberapa
kapsul habbatus sauda’ juga saya konsumsi. Sebelum tidur cream Suncream
juga saya usapkan merata ke seluruh tubuh untuk membantu menghangatkan
tubuh.Hingga pada sebuah malam…
Saya bercerita kepada
kawan satu Tim, jika di Indonesia saya sakit semacam ini saya pasti
dikeroki oleh istri tercinta. “Apa kerok itu?”, kata mereka. Lalu saya
pun sedikit menceritakan tentang kerok-mengkerok ala Indonesia. Mulai
dari sejarah, fungsi dan tata caranya.
“Ya sudah…bagaimana
kalau saya ngerokin kamu?”, kata kawan saya. Akhirnya malam itu saya pun
dikeroki setelah hampir setahun tidak pernah dikeroki. Hanya saja
memang saya harus maklum, cara ngerok-nya tentu berbeda. Lah wong kawan
saya baru sekali itu mengetahui yang namanya ngerokin. Bukannya
menyilang kanan kiri di punggung, kawan saya malah seperti mengecat
pagar rumah saja. Diputar kesana kemari, tidak beraturan bahkan
terkadang seperti gaya orang menyapu halaman rumah.
Ya… namanya saja pengalaman hidup.
_____00000_____
Coba bayangkan!
Dalam perjalanan
pulang,mobil yang kami naiki adalah sebuah jeep Toyota mini. Di depan
tiga orang, sopir dan kedua saudarinya. Sementara di belakang ada enam
orang, tiga orang saling berhadapan. Di tengah-tengah kami tertumpuk dua
karung gandum dan beberapa barang lainnya. Namun yang membuat
perjalanan pulang itu tidak akan terlupakan adalah seekor kambing yang
juga berada di antara kami.He…hee… Kami diberi pilihan oleh orang-orang
Badui di sana ; ingin diantar pulang melalui jalur berangkat yang hanya
lima jam ataukah ikut menumpang sebuah mobil dari kampung sebelah namun
perjalanan ditempuh selama delapan jam? Jika ingin diantar pulang
berarti harus menanti pekan depan. Namun, jika ingin menumpang mobil
kampung sebelah,pagi-pagi besok langsung berangkat. Menunggu sepekan
lagi? Hii…jangan lah!
Kami pun memilih untuk
kembali besok paginya dengan menumpang mobil dari orang kampung
sebelah.Akan tetapi seperti itulah keadaannya! Setelah tiga jam lebih
melintasi jalan berbatu dan berpasir akhirnya kami pun sampai juga di
jalan beraspal. Rasanya baru saja melihat dunia bebas ketika aspal itu
dengan halusnya menjadi tempat roda mobil kami berputar.
Alhamdulillah…
Apalagi beberapa waktu
kemudian sinyal hape menjadi aktif lagi. Alhamdulillah setelah delapan
jam perjalanan, sampailah kami ke Pondok Dzamar dengan selamat. Sambil
membawa banyak kenangan yang sulit terlupakan. Rute yang kami ambil
ketika pulang berbeda dengan rute saat berangkat. Beberapa kota kami
lewati. Hitung-hitungsambil memperbanyak wawasan tentang travelling di
Yaman. Namun, semua itu tetap berada di dalam jeep mini bersama kambing
berwarna hitam itu.
_____00000_____
Dua puluh tiga hari
bukanlah waktu yang sebentar. Ada banyak pelajaran hidup yang berharga
bagi saya. Selama di sana, saya belajar arti sebuah kesederhanaan,
perjuangan, kesetiakawanan, kesabaran, kedermawanan, keberanian juga
makna ilmu. Betapa ilmu agama ini sangat dibutuhkan dan diharapkan.
Sekian banyak orang
merasakan haus dan lapar secara ruhani. Mereka sangat membutuhkan ilmu.
Hal ini sekaligus pelecut semangat untuk terus belajar, ternyata ilmu
yang telah dipelajari masih belum seberapa jika dibandingkan dengan
kebutuhan masyarakat.
Dua puluh tiga hari
selama di kampung Badui Ma’rib telah mengajarkan banyak hal untuk saya!
Di hari-hari terakhir,saya pun telah menemukan jalan Cinta…Sebuah jalan
yang akan saya tuangkan dalam sebuah surat Cinta untuk istri di
Indonesia.Surat itu saya beri judul JALAN CINTA…
Surat itu berisi
tentang sekilas perjuangan saya untuk meraih cinta sampai Allah
mencurahkan sekian banyak kenikmatan untuk saya…Kenikmatan yang masih
terlalu kecil rasa syukur yang saya berikan. Seorang istri shalehah,
seorang putri yang mungil, dua keponakan yang shalihah, beribadah haji,
berthalabul ilmi dan tentunya kesempatan berbakti kepada orang tua.
Surat itu pun berisi
tentang cita-cita saya ke depan nanti. Sebuah jalan Cinta sedang saya
rajut. Dan Allah tentu amat mudah untuk mengabulkannya. Ya, surat itu
pun berisi tentang tekad saya untuk meninggal dunia dalam keadaan
bersujud di depan Ka’bah ataukah menghembuskan nafas dengan senyum
terakhir karena meninggal di medan Jihad…

love
JALAN CINTA akan saya kirimkan untuk istri di Solo pada tanggal 29 November
2013 nanti, insya Allah… Hari tepat setahun saya meninggalkan Indonesia.
_abu nasiim mukhtar “iben” rifai_Helga La Firlaz_Yemen_20 November
2013_22.05 malam_
http://www.ibnutaimiyah.org/category/kisah/