
Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
| | |
Termasuk sebab terbesar yang
memalingkan dari kebenaran adalah menganggap bahwa orang yang berada di
atas kebathilan sebagai orang yang berada di atas kebenaran, dan orang
yang menyelisihinya dialah yang berada di atas kebathilan. Maka orang
semacam ini berat baginya untuk meninggalkan kesesatan dan kebathilannya
kecuali jika Allah menghendaki. Awal mula munculnya hal yang
memalingkan dari kebenaran ini sifatnya meluas di tengah-tengah
masyarakat bersama kemunculan kelompok Khawarij. Jadi yang pertama kali
menempuh keyakinan semacam ini di tengah-tengah umat ini adalah
orang-orang Khawarij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَأَوَّلُ مَنْ ضَلَّ فِيْ ذَلِكَ
هُمْ الْخَوَارِجُ الْمَارِقُوْنَ حَيْثُ حَكَمُوْا لِنُفُوْسِهِمْ
بِأَنَّهُمْ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّتِهِ وَأَنَّ
عَلِيًّا وَمُعَاوِيَة وَالْعَسْكَرِيْنَ هُمْ أَهْلُ الْمَعْصِيَةِ
وَالْبِدْعَةِ فَاسْتَحَلُّوْا مَا اسْتَحَلُّوْهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Pertama kali yang sesat dalam hal
tersebut adalah Khawarij yang keluar dari agama ini di mana mereka
menganggap diri merekalah yang berpegang teguh dengan Kitab Allah dan
Sunnah-Nya, dan mereka menganggap bahwa Ali dan Mu’awiyah serta pasukan
di kedua belah pihak sebagai orang-orang yang fanatik terhadap
kelompoknya dan melakukan kebid’ahan, sehingga mereka pun menghalalkan
apa yang mereka anggap halal (darah, harta dan kehormatan –pent) dari
kaum Muslimin.” [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah juga berkata ketika menjelaskan bagaimana orang-orang
Khawarij itu memutarbalikkan fakta:
حَتَّى قَدْ يُبَدِّلُوْنَ الْأَمْرَ
فَيَجْعَلُوْنَ الْبِدْعَةَ الَّتِيْ ذَمَّهَا أُولَئِكَ هِيَ السُّنَّةُ
وَالسُّنَّةُ الَّتِيْ حَمِدَهَا أُولَئِكَ هِيَ الْبِدْعَةُ
وَيَحْكُمُوْنَ بِمُوْجِبِ ذَلِك حَتَّى يَقَعُوْا فِيْ الْبِدَعِ
وَالْمُعَادَاةِ لِطَرِيْقِ أَئِمَّتِهِمْ السُّنِيَّةِ وَفِيْ الْحُبِّ
وَالْمُوَالَاةِ لِطَرِيْقِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّتِيْ أَمَرَ أَئِمَّتُهُمْ
بِعُقُوْبَتِهِمْ وَيَلْزَمُهُمْ تَكْفِيْرَ أَئِمَّتِهِمْ وَلَعْنَهُمْ
وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُمْ وَقَدْ يَلْعَنُوْنَ الْمُبْتَدِعَةَ وَتَكُوْنُ
اللَّعْنَةُ وَاقِعَةً عَلَيْهِمْ أَنْفُسِهِمْ ضِدَّ مَا يَقَعُ عَلَى
الْمُؤْمِنِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَلَا ترَوْنَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللهُ عَنِّيْ سَبَّ قُرَيْشٍ يَسُبُّوْنَ
مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ.
“Sampai terkadang mereka
memutarbalikkan perkara dengan menganggap bid’ah yang mereka cela
sebagai Sunnah dan menganggap Sunnah yang mereka puji sebagai bid’ah.
Sebagai konskwensinya mereka pun terjatuh ke dalam bid’ah dan memusuhi
jalan para pemimpin mereka (para Shahabat –pent) yang sesuai dengan
As-Sunnah, sebaliknya mereka mencintai dan bersikap loyal kepada jalan
yang ditempuh oleh para ahli bid’ah yang para pemimpin mereka (para
Shahabat –pent) memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman terhadap mereka.
Dan hal itu menyebabkan mereka untuk mengkafirkan para pemimpin mereka,
melaknat mereka, dan berlepas diri dari mereka. Dan terkadang mereka
melaknat para ahli bid’ah, sehingga laknat itu menimpa diri mereka
sendiri dan tidak menimpa seorang mu’min.
Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Tidakkah kalian memperhatikan
bagaimana Allah memalingkan celaan orang-orang Quraisy yang ditujukan
kepadaku, mereka mencela dengan mengatakan bahwa aku adalah orang yang
tercela, padahal aku adalah Muhammad (yang artinya orang yang terpuji
–pent).” [2]
Sebaliknya mereka ini mencela para
ahli bid’ah yang mereka anggap orang lain, padahal mereka sendirilah
yang sebagai ahli bid’ah. Hal ini seperti orang yang melaknat
orang-orang yang zhalim, padahal dia sendiri adalah orang yang zhalim
atau salah satu dari orang-orang yang zhalim.
Ini semua termasuk firman Allah Ta’ala:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوْءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا.
“Maka apakah orang yang
dijadikan menganggap baik perbuatannya yang buruk lalu dia meyakininya
sebagai sesuatu yang baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh
syaitan).” (QS. Fathir: 8)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Demikian juga klaim yang dilontarkan oleh banyak
para pengekor hawa nafsu dan penyeru kesesatan bahwa mereka adalah
orang-orang yang berada di atas kebenaran, atau mereka adalah
orang-orang yang dekat dengan Allah, atau orang-orang yang menampakkan
kebenaran, atau para wali Allah, hingga kalian akan mendapatkan
sifat-sifat ini ada pada mereka dan tidak pada selain mereka. Sehingga
dengan klaim dusta ini mereka hakekatnya lebih tepat dianggap sebagai
musuh-musuh Allah, dan jauh lebih pantas dianggap sebagai pembawa
kebathilan dibandingkan sebagai orang-orang yang membela kebenaran.
Mereka ini memiliki keserupaan yang kuat dengan apa yang disebutkan oleh
Allah tentang orang-orang Yahudi dan Nashara:
وَقَالُوْا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ
إِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ
هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ. بَلَى مَنْ أَسْلَمَ
وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ. وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ
لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ
الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُوْنَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ
الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ.
“Dan mereka berkata:
“Sekali-kali tidak akan masuk syurga kecuali orang-orang Yahudi atau
Nashara.” Itu hanyalah angan-angan mereka yang kosong. Katakanlah:
“Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang
benar.” Bahkan siapa yang berserah diri kepada Allah dan dia berbuat
kebaikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Dan
orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nashara itu tidak mempunyai
suatu pegangan.” Sebaliknya orang-orang Nashara berkata: “Orang-orang
Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan.” Padahal mereka sama-sama
membaca Al-Kitab, demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui juga
mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara
mereka pada hari kiamat tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.”
(QS. Al-Baqarah: 111-113)
Juga firman-Nya:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى
نَحْنُ أَبْنَاءُ اللهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ
بِذُنُوْبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ
يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيْرُ.
“Orang-orang Yahudi dan Nashara
mengatakan: “Kami adalah anak-anak Allah dan orang-orang yang
dicintai-Nya.” Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena
dosa-dosa kalian. Tetapi kalian adalah manusia biasa seperti yang Dia
ciptakan yang lainnya. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan
menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan hanya milik Allah sajalah
kerajaan langit dan bumi dan yang berada diantara keduanya, dan hanya
kepada-Nya saja kembalinya segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah: 18)
Yang lebih mengherankan dari ini
adalah bahwa sebagian orang-orang yang tidak mengerti hakekat madzhabnya
menuduh orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah, seperti yang
dilakukan oleh Al-Waqifah (orang-orang yang tidak menetapkan bahwa
Al-Qur’an adalah kalam Allah, namun juga tidak mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk –pent). [3]
Ad-Darimy rahimahullah berkata: “Di
samping sikap mereka yang di tengah-tengah ini, mereka tidak ridha
hingga mereka mengklaim bahwa mereka menganggap siapa saja yang
menyelisihi mereka dan meyakini salah satu dari dua pendapat tersebut
(menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, atau mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk –pent) sebagai ahli bid’ah. Maka kita katakan
kepada kelompok ini: adapun vonis kalian bahwa siapa saja yang
menyelisihi kalian dan meyakini salah satu dari dua pendapat tersebut
adalah seorang mubtadi’, maka ini merupakan kezhaliman dan ketidakadilan
pada dakwaan kalian, sampai kalian memahami dan mengerti duduk
perkaranya, karena kalian tidak mengetahui manakah dari dua kelompok
tersebut yang sesuai dengan As-Sunnah dan sesuai dengan kebenaran. Jadi
siapa saja yang menyelisihi mereka adalah mubtadi’ menurut kalian.
Padahal bid’ah perkaranya besar, dan orang yang dituduh melakukannya
akan sangat buruk penilaian terhadapnya di tengah-tengah kaum Muslimin.
Maka kalian jangan terburu-buru memvonis mereka telah terjatuh dalam
bid’ah sampai kalian yakin dan mengetahui apakah yang dikatakan oleh
salah satu dari dua kelompok tersebut benar ataukah bathil. Bagaimana
kalian bisa terburu-buru menuduh suatu kaum telah terjatuh kepada bid’ah
pada pendapat mereka, padahal kalian tidak mengetahui apakah pendapat
mereka itu sesuai dengan kebenaran ataukah tidak?!
Dan tidak mungkin pada madzhab
kalian untuk mengatakan kepada salah satu dari dua kelompok tersebut:
“Pendapatmu tidak sesuai dengan kebenaran, dan yang benar tidak seperti
yang engkau katakan.” Jadi apakah ada orang yang lebih dungu dan lebih
bodoh pada madzhabnya dibandingkan seseorang yang menuduh orang lain
telah terjatuh kepada bid’ah, sementara dia mengatakan: “Kami tidak
mengetahui apakah yang benar itu seperti yang mereka katakan, atau tidak
demikian?!” Dan bukan perkara yang mustahil menurut madzhabnya yang
seperti itu bahwa salah satu dari dua kelompok tersebut ternyata sesuai
dengan kebenaran dan sesuai dengan As-Sunnah, namun dia justru menuduh
mereka sebagai mubtadi’, dan tidak mustahil juga berdasarkan tuduhan dia
itu bahwa kebenaran dianggap sebagai kebathilan dan As-Sunnah dianggap
sebagai bid’ah. Jadi yang semacam ini merupakan kesesatan yang jelas dan
kebodohan yang besar.” [4]
Ketika menyebutkan biografi Abu
Hayyan At-Tauhidy, Al-Hafizh Adz-Dzahaby menukil ucapannya: “Manusia
banyak yang berjalan dalam keadaan tidak mengetahui jalan yang
sebenarnya, mereka menyangka bahwa kebenaran bersama mereka, padahal
kebenaran ada di belakang mereka.” Lalu Adz-Dzahaby mengomentari ucapan
tersebut: “Dan engkau adalah pembawa panji mereka.” [5]
Keterangan:
[1] Al-Istiqaamah, I/13. [2]
Al-Istiqaamah, I/14. [3] At-Tis’iiniyyah, III/906. [4] Ar-Radd alal
Jahmiyyah, hal. 102-103. [5] Nukilan dari At-Tuhfatus Saniyyah Syarh
Manzhumah Ibni Abi Dawud Al-Ha’iyyah, hal. 31.
Alih Bahasa: Abu Almass –satarallaahu fid dunyaa wal aakhirah– Selasa, 21 Rajab 1435 H
sumber : http://forumsalafy.net/?cat=9
Posting Komentar