Rabu, 12 Februari 2014

Ku Temukan Cinta di Dalam Manhaj Salaf


Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Judul tulisan di atas sengaja saya ambil dari sebuah tema Daurah SMA se Eks Karesidenan Surakarta. Ketika itu, mulai dari 25 Desember sampai dengan 28 Desember 2009, Pesantren kami mengadakan kegiatan Daurah untuk yang ke-empat kalinya bagi siswa-siswi SMA/SMK, memanfaatkan musim liburan.
Ketika sebagian muslimin ikut terlena dalam perayaan Natal atau persiapan malam tahun baru, anak-anak muda itu justru semangat-semangatnya mengkaji Islam berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan pemahaman Salaf. Rindu dan kangen rasanya dengan momen-momen seperti itu.Sudah ratusan anak muda yang pernah mengecap manisnya Daurah SMA/SMK tersebut. Entah di mana mereka sekarang?
Semoga saja mereka tetap istiqomah!
O0000_____ooooO
Bus yang kami gunakan berukuran sedang. Kurang lebih, empat puluh kursi yang tersedia. Hari Jum’at kemarin, untuk yang kedua kalinya, kawan-kawan dari kabupaten Utmah mengajak saya untuk bergabung bersama mereka dalam kunjungan ke Utmah. Kesempatan yang sulit ditolak! Utmah hari-hari ini dalam view indah-indahnya, kata mereka.
Dalam perjalanan pulang, menjelang maghrib, seorang kawan bernama Basyir Al Aanisi mengubah suasana hening menjadi hidup. Dari tempat duduknya yang berada di ujung kiri bagian belakang, ia didaulat untuk berkisah kecil tentang dirinya.
“Ceritakanlah perantauanmu! Pengembaraanmu untuk mencari kebenaran hakiki. Pengembaraan yang membuatmu keluar masuk berbagai kelompok Islam. Buatlah kami belajar darimu!”, kata wakil koordinator rombongan.
Mula-mula ia menolak. Dengan malu-malu ia mengaku tidak pantas berbicara di hadapan kami serombongan. Namun permintaan yang terus mengalir disertai dengan permohonan bersama, ia pun mulai bercerita.
Sudah banyak kelompok Islam ia datangi. Duduk,  berjalan, berdiskusi, hidup dan bergaul di tengah-tengah mereka. Bertahun-tahun lamanya ia mencari kedamaian di hati, namun masih gersang juga hatinya. Ingin ia membasahi hati agar segar, sejuk, hidup dan menyalurkan keteduhan ke seluruh jiwanya.
Kelihatannya ia berkisah dengan hati. Itu terlihat dengan teriakan takbir secara spontan dari sebagian peserta. Berkisahnya seakan membius kami. Terharu, tersentuh dan tersentak kami dengan ceritanya.
“Satu hal yang saya simpulkan dari kelompok-kelompok itu! Tiap-tiap kelompok menuntut agar pengikutnya memberikan sesuatu untuk kelompoknya. Ikhwanul Muslimin meminta suaramu untuk menang pemilu. Jama’ah Tabligh mengharuskanmu untuk hidup berhari-hari di jalanan. Mau tidak mau, kamu harus duduk khusyu’ di depan kuburan jika bergabung bersama kaum Sufi”, katanya penuh semangat.
Ia melanjutkan,” Namun berbeda sangat! Setelah saya mengenal Sunnah, Manhaj Salaf,apa yang dituntut? Saya tidak dituntut agar memberikan apa-apa untuk Ahlus Sunnah! Belajarlah agama untuk kepentinganmu sendiri! Shalat, puasa dan beribadahlah untuk kebaikanmu sendiri! Engkau berdakwah? Itu bukan karena dakwah membutuhkan kamu, tetapi kamulah yang membutuhkan dakwah!”
“Apakah kamu pernah menangis bahagia ketika mengenal manhaj Salaf? “,tanya seorang peserta.
Ia menjawab dengan bercerita tentang dzikir pagi yang biasa ia baca,
 اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنْكَ وَحْدَكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ، وَلَكَ الشُّكْرُ
“Ya Allah,setiap nikmat yang aku rasakan di pagi ini, hanyalah berasal dari-Mu semata. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Maka segala puji dan syukur hanyalah untuk-Mu”[1]
“Setiap aku membaca dzikir di atas, aku yakin bahwa nikmat terbesar dalam hidupku adalah mengenal Sunnah, mendekap manhaj Salaf”, katanya mengakhiri kisah.
Kisah panjangnya itu mengundang banyak tanggapan dari peserta.
Man jadda wajada. Barangsiapa bersunggguh-sungguh, pasti ia akan memperoleh yang dicari”
Man bahatsa amsaka. Barangsiapa mencari, niscaya ia akan merengkuhnya”
Lan ya’rifa ahadun qadral halaawah illa man jarrabal maraarah. Tidak ada seorangpun yang benar-benar bisa menilai nilai “manis”,kecuali ia pernah merasakan “pahit”.
Namun,yang terpenting dari itu semua adalah firman Allah Ta’ala ;
 وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. 29:69)
O0000_____ooooO
masjid ibnu taimiyah
masjid ibnu taimiyah
Saya teringat tentang sebuah malam di Masjid Ibnu Taimiyah, Solo. Seorang bapak berpenampilan rapi terlihat begitu antusias di dalam kajian Islam selepas maghrib hari itu. Dengan ditemani Bang Indra, seorang sahabat dekat, mengalirlah perbincangan di antara kami. Saya, Bang Indra dan bapak itu.
“Akhirnya,saya menemukan apa yang saya cari-cari selama ini, Ustadz”, ujarnya. Secara ringkas, bapak itu bercerita tentang latar belakangnya sebagai seorang seniman. Kesukaan kepada dunia seni, menghantarkan beliau menjadi seorang dosen seni di sebuah universitas negeri di kota Yogyakarta. Karir mentereng di dunianya.
Beliau sempat menyatakan,” Teman-teman saya banyak yang berpandangan atheis. Tidak meyakini keberadaan sang Khalik. Awalnya saya pun terbawa oleh pandangan tersebut. Namun, saya mulai merasakan kegalauan dan kegelisahan”.
Bapak itu bercerita tentang usahanya yang tidak pernah kenal lelah untuk menemukan penawar gelisahnya. Waktu dan kesempatan digunakan untuk melakukan browsing, berselancar di dunia maya. Mencari dan terus mencari. Agama Islam yang senyatanya banyak firqah dan kelompok sempalan di dalamnya, justru menambah semangat beliau untuk terus mencari.
“Nah, akhirnya saya ketemu dengan Mas Indra di masjid kampung, Ustadz. Saya mulai sedikit-sedikit merasakan apa yang selama ini telah hilang dari diri saya”, kata bapak itu.
Tahukah Anda, di manakah titik kulminasi kegelisahan beliau? Ketika beliau, dengan dasar ilmu seni yang dimiliki, mengagumi keindahan alam semesta. Merenungkan keteraturan angkasa raya ini.” Keteraturan yang maha sempurna ini tentu membuktikan bahwa di sana ada Dzat yang mengaturnya!”, kata bapak itu penuh semangat.
Subhaanallah! Kegelisahan telah menghantarkan beliau ke Manhaj Salaf.Sebuah hasil pencarian. Perjalanan spiritual untuk meraih cinta Ar Rahman.Semoga Allah memberkahi beliau.
O0000_____ooooO
Bersabar untuk merengkuh nikmatnya hidup bermanhaj Salaf mengingatkan saya kepada sosok sederhana dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Perjalanan yang ia tempuh hingga akhirnya merasakan indahnya Manhaj Salaf terbilang berliku-liku. Profesi di bidang desain grafis ia tinggalkan karena tak bisa lepas dari gambar makhluk bernyawa. Sebuah keputusan yang semakin memperuncing konflik di dalam keluarga.
Istrinya menentang saat ia mulai memanjangkan janggutnya. Perubahan demi perubahan sikap belum bisa diimbangi oleh sang istri. Cekcok adalah santapan sehari-hari. Apalagi pihak keluarga besar sudah mulai ikut campur. Cerita-cerita yang ia sampaikan kepada saya memang menegangkan lagi mengharukan. Bahkan, istrinya pernah lari menghilang.
Subhaanallah!
Memang sudah menjadi sunnatullah, siapa saja yang bertekad untuk menjadi hamba yang shalih, harus dihadapkan dengan berbagai ujian. Apakah ia jujur? Apakah ia bersungguh-sungguh?  Apakah ia mudah putus asa? Cepat menyerah? Untuk menguji, seberapa besarkah rasa cinta Nya kepada Allah?
Hari masih begitu pagi, saat ia mengetuk pintu rumah. Gelapnya malam belum terhapus bersih oleh siang. Pasti ada sesuatu yang sangat penting, pikir saya saat itu. Sambil menikmati sejuknya pagi, kami berdua terlibat perbincangan yang serius. Iya, di teras depan rumah saya.
Ia tumpahkan semua uneg-unegnya. Ia curahkan endapan rasa dari hatinya. Hampir saja ia putus asa untuk membujuk istrinya. Menyedihkan!
“Begini, Mas. Setiap proses pasti membutuhkan waktu. Coba Panjenengan jawab pertanyaan saya,” Berapa tahun yang Antum butuhkan untuk berubah semacam ini? Sampai Antum benar-benar menerima Manhaj Salaf sepenuh jiwa? Lama kan? Bertahun-tahun kan?”, saya mengajaknya untuk berpikir tenang.
Seringkali kita dikuasai oleh sikap egois. Kenapa egois? Bertahun-tahun lamanya kita berlari-lari, mengitari sekian banyak titik, untuk mencari kebenaran hakiki. Akan tetapi, setelah menemukannya, kita seakan “memaksakan” kebenaran itu kepada orang-orang yang kita sayangi. Kita seolah “memaksakan” dalam waktu sekejap, agar orangtua kita menjadi Salafy. Anak-anak, istri atau suami menjadi Salafy.
“Semua membutuhkan waktu, Mas. Panjenengan mesti bersabar! Buktikan bahwa setelah menjadi Salafy, Panjenengan semakin lebih baik lagi di dalam memperlakukannya sebagai seorang istri. Kesankan dan hidupkan kesan di dalam hati istri bahwa setelah menjadi Salafy ia akan bertambah bahagia, nyaman dan tentram!”, pesan saya.
Subhaanallah! Al Quluub  bi yadillah. Hati manusia memang berada di antara jari jemari Allah! Waktu terus berjalan dan di sebuah saat, sahabat saya di atas menyampaikan,”Alhamdulillah, Ustadz. Istri saya sudah mau pakai jilbab”. Beberapa bulan kemudian, ia bercerita kalau istrinya sudah mau diajak ngaji. Dan, sebelum saya berangkat ke Yaman, sahabat saya ini telah menyewa sebuah rumah sederhana di lingkungan Salafy bersama istri dan anak-anaknya. Walhamdulillah
O0000_____ooooO
Pagi ini saya berhenti sejenak pada ayat ke-39 di dalam surat Al An’am.
Sangat indah!
Menenangkan hati sekaligus menghadirkan kecemasan. Hati menjadi tenang karena ayat tersebut sangat menghibur mereka yang telah berjuang menyuarakan al haq, menyerukan Manhaj Salaf, namun berakhir dengan penolakan. Di kesempatan yang sama, ayat ini pun menghadirkan kecemasan, apakah kita mampu bertahan di atas cahaya hidayah sampai nafas terakhir esok?
Melalui ayat tersebut,Allah berfirman,
 مَن يَشَإِ اللهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), Niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus. (QS. 6:39
Memberikan petunjuk atau menyesatkan adalah hak mutlak milik Allah. Semua ketetapan Nya pasti di atas hikmah dan keadilan. Al Fadhlu lillahi wahdah.
Namun, Allah tidak membiarkan umat manusia begitu saja. Jalan-jalan hidayah telah diterangkan secara sempurna oleh pesuruh-pesuruh Nya. Manusia diberi kemampuan melihat, mendengar, mencerna ,mengolah dan berpikir. Tanda-tanda kebesaran Nya jelas sekali terlihat di alam semesta ini. Ayat syar’iyyah dan ayat kauniyyah!
Ah, bagaimana dengan kita? Mampukah kita tetap istiqomah di jalan Allah sampai akhir hayat nanti? Ya Allah,tetapkanlah hati kami di atas Islam, As Sunnah dan Thalabul Ilmi. Amin yaa Arhamar Raahimiin.
_Daar El Hadith Dzamar_Republic Of Yemen_sebagian dinukil dari buku Resah, Kesah dan Gelisah Kita (dalam proses)_Sabtu 11 Shafar 1435 H/14 Desember 2013_

[1] Hadits Abdullah bin Ghannam Al Bayadhi riwayat Abu Dawud (5073) di dhaifkan oleh Al Albani. Adapun Syaikh Ibnu Baaz menghasankan sanadnya. Wallahu a’lam

http://www.ibnutaimiyah.org/category/kisah/

Baca Selengkapnya ....

Pemimpin itu Pelayan !

(Rinai-rinai Cerita Episode Ketiga)
.
Lentera
“Demi Allah!! Anda harus tetap duduk! Jangan berdiri”
Sumpah di atas yang disandingkan dengan permohonan agar tetap duduk diucapkan Umar bin Abdul Aziz kepada tamunya : Raja’ bin Haiwah, seorang ulama besar asal Palestina di masa tersebut. Malam itu Raja’ bin Haiwah datang bertamu dan menginap di rumah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz Sang Khalifah Adil.
Pelita minyak yang menerangi ruangan tempat mereka berbincang-bincang nampak mulai meredup. Raja’ bin Haiwah lalu berinisiatif untuk memperbaiki pelita tersebut. Saat Raja’ bangkit berdiri, Umar bin Abdul Aziz menahan beliau sambil mengucapkan sumpah di atas.
Raja’ bin Haiwah terheran-heran dengan sikap Sang Khalifah,
“Apakah Anda sendiri yang akan memperbaiki? Anda adalah seorang Amirul Mukminin…”
Umar bin Abdul Aziz tidak menanggapi pertanyaan itu. Beliau tetap bangkit berdiri untuk memperbaiki pelita minyak. Setelah selesai ,beliau menyatakan,
“Saat berdiri tadi, aku adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika kembali lagi, aku pun tetap Umar bin Abdul Aziz”
Subhaanallah! Luar biasa sekali sikap di atas! …”Aku adalah Umar bin Abdul Aziz,bukan karena telah menjadi Amirul Mukminin lantas Aku bukan lagi seorang Umar bin Abdul Aziz…”
Umar bin Abdul Aziz telah mencontohkan secara nyata kepada kita tentang sebuah sisi dari sikap Mengendapkan Rasa…Ya,rasa ingin selalu dilayani oleh orang lain adalah salah satu rasa yang mesti kita endapkan.Justru kita dituntut untuk selalu berpikir kemudian dilanjutkan dengan tindakan nyata, bagaimanakah melayani orang lain?
Dengan posisi sebagai seorang pemimpin besar Islam,Umar bin Abdul Aziz sejatinya layak untuk dilayani.Akan tetapi,beliau lebih memilih untuk merealisasikan sabda Nabi di dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim (2588) ;
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidak seorang pun bersikap merendah karena Allah melainkan ia pasti semakin ditinggikan derajatnya oleh Allah”
Pemimpin dengan jiwa melayani adalah dambaan setiap insan… Benar begitu, bukan? Apalagi saat-saat ini… Saat setiap mata dan telinga selalu disibukkan dengan calon pemimpin negeri… Siapapun pasti berharap, pemimpin terpilih esok waktu adalah seorang pemimpin yang berjiwa melayani, memperhatikan rakyat, tidak semena-mena, sederhana dan berusaha sederajat dengan rakyatnya.
Berbicara tentang pemimpin dambaan semacam di atas, pasti segera melambungkan kita kembali kepada kenangan manis Umar bin Khatab, Khalifah Kedua di dalam sejarah Islam. Sepatutnya setiap pemimpin meneladani sifat-sifat beliau yang sangat elok untuk diteladani.
Umar bin Khatab adalah tipe seorang pemimpin yang sangat peduli dengan rakyatnya.
“Andai saja seekor kambing mati di tepi sungat Furat karena tersesat jalannya,aku yakin Allah akan meminta tanggung jawabku pada hari kiamat nanti”, tutur beliau.
Bayangkan saja! Jangankan seorang warga… seorang rakyat… seekor kambing milik rakyat saja beliau nyatakan sebagai bagian dari amanat dan tanggung jawab beliau. Bukankah pemimpin semacam ini yang sedang kita cari?
Umar bin Khatab adalah seorang pemimpin yang berusaha untuk sama-sama merasakan penderitaan rakyatnya. Musim paceklik pernah menyerang… Hujan telah sekian lama tidak tercurah, tanah menjadi kering kerontang gersang dan kelaparan merata di mana-mana. Tahun itu dikenal dengan sebutan Tahun Ar Ramaadah.
Hanya roti gandum dan minyak dari susu sapi yang dimakan oleh Umar bin Khatab… Pemimpin tertinggi kaum muslimin…Seorang pemimpin dari daratan dan lautan yang membentang hingga separuh bumi… Hanya makan roti biasa dengan minyak dari susu sapi?
“Aku tidak sampai hati makan hingga kenyang… Sementara anak-anak kaum muslimin mengalami kelaparan”,demikian kata Umar untuk kita.
Semoga Allah merahmati Umar… Hati ini tergetar, jiwa ikut bergemuruh dan hampir saja kedua pelupuk mata basah tergenangi air mata ketika membaca kisah kecil di atas… Akankah ada pemimpin semacam beliau yang akan kita miliki ?
Umar bin Khatab adalah seorang pemimpin sederhana dan bersahaja.
Hurmuzan… seorang pejabat tinggi kerajaan Persia datang ke kota Madinah untuk menemui Umar bin Khatab..Dengan menggunakan pakaian mewah beserta atribut-atribut kerajaan,Hurmuzan diantar untuk menemui Umar yang sedang tidur beristirahat di dalam masjid.
“Dimanakah Umar?”,tanya Hurmuzan.
Para sahabat yang mengantar lalu memberikan isyarat, “Orang itulah Umar bin Khatab”
Hurmuzan heran,”Loh… dimana para pengawalnya”
“Umar tidak membutuhkan pengawal”, kata para sahabat.
Hurmuzan lalu mengatakan kepada Umar :
“Anda telah memimpin dengan adil sehingga Anda selalu merasa aman. Sehingga Anda pun dapat tidur dengan tenang”
Subhaanallah!
Pemimpin yang adil pasti dapat tidur dengan tenang.Ia akan selalu merasa aman walau tanpa pengawalan. Sebab… Allah lah yang akan menjaga dan melindunginya.. Bukankah pemimpin adil semacam ini yang sedang kita tunggu-tunggu?
Ah… kenapa kita juga belum tersadar ?
Apakah masing-masing kita tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang Pemimpin…? Kenapa setiap kali berbicara tentang Pemimpin, kita selalu membahas dan membicarakan orang lain?
Sekali lagi…. Anda adalah seorang Pemimpin… Walau lingkup dan areanya kecil dan tidak terlalu luas, namun sadarlah bahwa Anda adalah seorang Pemimpin… Keluarga, tetangga dan kawan-kawan Anda adalah rakyatnya…
Kenapa kita berharap muncul seorang pemimpin yang melayani? Seorang pemimpin yang peduli dengan rakyat? Seorang pemimpin yang adil? Seorang pemimpin yang bersahaja? Sementara kita sendiri pun seharusnya menjadi pemimpin yang demikian…
Kenapa tidak kita sendiri yang mewujudkannya? Istri Anda… anak-anak Anda… orangtua Anda… tetangga Anda… kawan-kawan Anda… bawahan dan pegawai Anda… Semuanya berharap agar Anda menjadi seorang pemimpin yang selalu melayani mereka, memperhatikan mereka, bersikap adil kepada mereka dan bersahaja dalam bersikap kepada mereka.
Mengapa benak kita selalu terpaku kepada pemimpin tertinggi di negeri ini? Lalu kita lupa bahwa kita pun ditugaskan Allah untuk menjadi seorang pemimpin…
Rasulullah bersabda di dalam hadist Abdullah bin Umar riwayat Bukhari dan Muslim ;
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه
“Masing-masing kalian adalah seorang pemimpin…Dan masing-masing kalian akan diminta pertanggungjawaban nya pada hari kiamat nanti”
Ingat-ingatlah selalu bahwa Anda adalah seorang pemimpin! Oleh sebab itu, berusahalah belajar mengendapkan rasa “untuk selalu ingin dilayani”… Orang lain pun merasa senang dan tersanjung jika Anda melayaninya… Sering-seringlah memberi sebab kita pun sangat senang jika diberi… Hidup di dunia ini memang untuk saling berbagi dan memberi… Melayani dan dilayani…maka, marilah menjadi pelayan yang baik… Terutama kepada orang-orang yang kita cintai… Jangan karena merasa menjadi seorang pemimpin lantas selalu ingin dilayani…Sesungguhnya pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu melayani…
Contohlah Umar bin Khatab…Contohlah pula Umar bin Abdul Aziz…
00000___________________00000
_Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz_
_di tengah gelapnya di sebuah malam Ramadhan 1434 H_00.35_
dengan harapan membuncah_ya Allah ampunilah dosa hamba Mu ini

Baca Selengkapnya ....

Setiap Kali Teringat Dia, Dunia Ini Terasa Tidak Ada Harganya


Kisah Yang Menakjubkan Tentang Ikhlash
Setiap Kali Teringat Dia, Dunia Ini Terasa Tidak Ada Harganya
 .
Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisahnya:
“Saya tiba di Mekkah ketika manusia ditimpa paceklik dan mereka sedang melaksanakan shalat istisqa’ di Al-Masjid Al-Haram. Saya bergabung dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam yang membawa dua potong pakaian yang terbuat dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di pundaknya. Dia mencari tempat yang agak tersembunyi di samping saya. Maka saya mendengarnya berdoa,
Ya Allah, dosa-dosa yang banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi suram, dan Engkau telah menahan hujan dari langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu wahai Yang pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab, wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka hujan sekarang.”
Dia terus mengatakan, “Berilah mereka hujan sekarang.”
Hingga langit pun penuh dengan awan dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih, sementara saya pun tidak mampu menahan air mata. Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui di mana tempat tinggalnya. Lalu saya pergi menemui Fudhail bin Iyyadh. Ketika melihat saya maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat dirimu nampak sangat sedih?” Saya jawab, “Orang lain telah mendahului kita menuju Allah, maka Dia pun mencukupinya, sedangkan kita tidak.” Dia bertanya, “Apa maksudnya?” Maka saya pun menceritakan kejadian yang baru saja saya saksikan. Mendengar cerita saya, Fudhail bin Iyyadh pun terjatuh karena tidak mampu menahan rasa haru. Lalu dia pun berkata, “Celaka engkau wahai Ibnul Mubarak, bawalah saya menemuinya!” Saya jawab, “Waktu tidak cukup lagi, biarlah saya sendiri yang akan mencari berita tentangnya.”
Maka keesokan harinya setelah shalat Shubuh saya pun menuju tempat tinggal budak yang saya lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya sudah ada orang tua yang duduk di atas sebuah alas yang digelar. Ketika dia melihat saya maka dia pun langsung mengenali saya dan mengatakan, “Marhaban (selamat datang –pent) wahai Abu Abdirrahman, apa keperluan Anda?” Saya jawab, “Saya membutuhkan seorang budak hitam.” Dia menjawab, “Saya memiliki beberapa budak, silahkan pilih mana yang Anda inginkan dari mereka?” Lalu dia pun berteriak memanggil budak-budaknya. Maka keluarlah seorang budak yang kekar. Tuannya tadi berkata, “Ini budak yang bagus, saya ridha untuk Anda.” Saya jawab, “Ini bukan yang saya butuhkan.”
Maka dia memperlihatkan budaknya satu persatu kepada saya hingga keluarlah budak yang saya lihat kemarin. Ketika saya melihatnya maka saya pun tidak kuasa menahan air mata. Tuannya bertanya kepada saya, “Diakah yang Anda inginkan?” Saya jawab, “Ya.” Tuannya berkata lagi, “Dia tidak mungkin dijual.” Saya tanya, “Memangnya kenapa?” Dia menjawab, “Saya mencari berkah dengan keberadaannya di rumah ini, di samping itu dia sama sekali tidak menjadi beban bagi saya.” Saya tanyakan, “Lalu dari mana dia makan?” Dia menjawab, “Dia mendapatkan setengah daniq (satu daniq = sepernam dirham –pent) atau kurang atau lebih dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan sehari-harinya. Kalau dia sedang tidak berjualan, maka pada hari itu dia gulung talinya. Budak-budak yang lain mengabarkan kepadaku bahwa pada malam hari dia tidak tidur kecuali sedikit. Dia pun tidak suka berbaur dengan budak-budak yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun telah mencintainya.”
Maka saya katakan kepada tuannya tersebut, “Saya akan pergi ke tempat Sufyan Ats-Tsaury dan Fudhail bin Iyyadh tanpa terpenuhi kebutuhan saya.” Maka dia menjawab, “Kedatangan Anda kepada saya merupakan perkara yang besar, kalau begitu ambillah sesuai keinginan Anda!” Maka saya pun membelinya dan saya membawanya menuju ke rumah Fudhail bin Iyyadh.
Setelah berjalan beberapa saat maka budak itu bertanya kepada saya, “Wahai tuanku!” Saya jawab, “Labbaik.” Dia berkata, “Jangan katakan kepada saya ‘labbaik’ karena seorang budak yang lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepada tuannya.” Saya katakan, “Apa keperluanmu wahai orang yang kucintai?” Dia menjawab, “Saya orang yang fisiknya lemah, saya tidak mampu menjadi pelayan. Anda bisa mencari budak yang lain yang bisa melayani keperluan Anda. Bukankah telah ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan saya kepada Anda.” Saya jawab, “Allah tidak akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan, tetapi saya akan membelikan rumah dan mencarikan istri untukmu dan justru saya sendiri yang akan menjadi pelayanmu.”
Dia pun menangis hingga saya pun bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Dia menjawab, “Anda tidak akan melakukan semua ini kecuali Anda telah melihat sebagian hubunganku dengan Allah Ta’ala, kalau tidak maka kenapa Anda memilih saya dan bukan budak-budak yang lain?!” Saya jawab, “Engkau tidak perlu tahu hal ini.” Dia pun berkata, “Saya meminta dengan nama Allah agar Anda memberitahukan kepada saya.” Maka saya jawab, “Semua ini saya lakukan karena engkau orang yang terkabul doanya.” Dia berkata kepada saya, “Sesungguhnya saya menilai –insya Allah– Anda adalah orang yang saleh. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba pilihan yang Dia tidak akan menyingkapkan keadaan mereka kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka kecuali kepada hamba yang Dia ridhai.” Kemudian dia berkata lagi, “Bisakah Anda menunggu saya sebentar, karena masih ada beberapa rakaat shalat yang belum saya selesaikan tadi malam?” Saya jawab, “Rumah Fudhail bin Iyyadh sudah dekat.” Dia menjawab, “Tidak, di sini lebih saya sukai, lagi pula urusan Allah Azza wa Jalla tidak boleh ditunda-tunda.” Maka dia pun masuk ke masjid melalui pintu halaman depan.
Dia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa yang dia inginkan.
Setelah itu dia menoleh kepada saya seraya berkata, “Wahai Aba Abdirrahman, apakah Anda memiliki keperluan?” Saya jawab, “Kenapa engkau bertanya demikian?” Dia menjawab, “Karena saya ingin pergi jauh.” Saya bertanya, “Ke mana?” Dia menjawab, “Ke akherat.” Maka saya katakan, “Jangan engkau lakukan, biarkanlah saya merasa senang dengan keberadaanmu!” Dia menjawab, “Hanyalah kehidupan ini terasa indah ketika hubungan antara saya dengan Allah Ta’ala tidak diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah Anda mengetahuinya, maka orang lain akan ikut mengetahuinya juga, sehingga saya merasa tidak butuh lagi dengan semua yang Anda tawarkan tadi.” Kemudian dia tersungkur sujud seraya berdoa, “Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!” Maka saya pun mendekatinya, ternyata dia sudah meninggal dunia. Maka demi Allah, tidaklah saya mengingatnya kecuali saya merasakan kesedihan yang mendalam dan dunia ini tidak ada artinya lagi bagi saya.”

(Al-Muntazham Fii Taarikhil Umam, karya Ibnul Jauzy, 8/223-225)


Diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy
17 Rabi’ul Awwal 1435 H
Daarul Hadits – Ma’bar – Yaman
http://www.ibnutaimiyah.org/category/kisah/

Baca Selengkapnya ....

Info Dauroh,


Pengagungan Terhadap Sunnah





Meniti Jejak Salafus Shalih



Baca Selengkapnya ....

Pengagungan Terhadap Sunnah (14 Februari 2014) Madura


14 feb 2014_Madura_Infokajian2
Hadirilah Kajian Dakwah Islam Ilmiah..
Bersama:
Al Ustadz Muhammad bin Umar As Sewed
Tema:
Pengagungan Terhadap Sunnah
Waktu:
Jum’at, 14 Februari 2014
Tempat:
Masjid Al-Falah,
Jl. Dirgahayu No. 22 Bugih – Pamekasan

Baca Selengkapnya ....

Ushulus Sunnah Imam Humaidy_3 (16 Februari 2014) Cirebon


cirebon_16 feb 2014_Infokajian2

Bismillahirrahmaanirrahiim
Dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wata’ala
Hadirilah Kajian Ilmiah Islamiyah 1 Hari.
Dengan tema:
Membungkam Mereka yang Berbicara tentang Allah Tanpa Ilmu
  – Kaum Jahmiyah (para pena’wil ayat-ayat dan sifat-sifat Allah)
– Kaum Khawarij (para pengkafir umat alias teroris)
Pembahasan dari Kitab Syarah Ushulus-Sunnah Imam Al-Humaidy
karya As-Syaik Abdullah al-Bukhary -Hafidzahullah
Pembicara -insyaAllah- :
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed -hafidzahullah
Tempat:
Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq
Waktu: Ahad, Pukul 09.00 WIB s.d. selesai
Tanggal: 16 Rabiuts Tsani 1435 H / 16 Februari 2014 M
Alamat:
Kompleks Ponpes Dhiya As-Sunnah
Jl. Elang Raya Dukuh Semar, Kecapi, Harjamukti, Cirebon
Info : 081312222345
InsyaAllah LIVE di
Straming Radio di http://salafycirebon.com/
Radio 107.7 Mhz Adh-Dhiya FM
Mohon sebarkan..
بارك الله فيك

Baca Selengkapnya ....

Imam masjid seorang sufi, mengobati dengan sihir. Apakah sah shalat di belakangnya?

Asy-Syaikh          : Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
 _________________________________________________________________________________________
imam_sihir

Pertanyaan         :

 di tempat kami ada seorang imam masjid, dia itu seorang sufi fanatik. Dia mengobati/menangani manusia dengan sihir dan memecahkan telur. Apakah sah shalat (berjama’ah) di belakangnya?

Jawab :

 Orang ini telah merusak agamanya sendiri dan agama orang-orang yang datang kepadanya. Apabila masalahnya – wahai penanya – sebagaimana yang engkau sebutkan, MAKA TIDAK SAH SHALAT DI BELAKANGNYA. Kalau pasti bahwa dia itu seorang tukang sihir, dan mengobati dengan sihir, maka TUKANG SIHIR ITU KAFIR. Sebagaimana Allah – Jalla wa ‘Ala – dalam surat al-Baqarah tentang dua malaikat, “Tidaklah kedua (malaikat) itu mengajarkan (sihir) kepada seorang pun kecuali keduanya mengatakan, ‘Kami ini sekedar cobaan, maka JANGANLAH KALIAN KAFIR’. [1] ” … “Sungguh mereka telah tahu, bahwa barangsiapa yang membelinya (sihir) maka tidak ada bagian untuknya di akhirat sedikitpun.” Yakni tidak dapat bagian. [2]
Dan sihir termasuk salah satu dari tujuh dosa yang membinasakan. – semoga Allah menyelamatkan kami dan anda semua dari neraka –
Sihir di antara sebab-sebab kekafiran. Sihir bisa menyebabkan kafir orang yang melakukan/mempraktekkannya.
واحْكُم على السَّاحرِ بالتكفيرِ   وحَدُّه القتلُ بلا نكيرِ
Hukumilah terhadap tukang sihir sebagai kafir
Hukum hadd-nya adalah dibunuh tanpa bisa dipungkiri
Orang seperti ini tidak pantas menjadi imam, dan tidak sah shalat di belakangnya. Umat manusia diperingatkan dari bahaya orang tersebut.
sumber http://ar.miraath.net/fatwah/7559



[1]  Yakni, berarti dengan mempelajari sihir seseorang menjadi kafir.
[2]  Tidak dapat bagian di Jannah (Surga)

http://miratsul-anbiya.net/2014/02/10/imam-masjid-seorang-sufi-mengobati-dengan-sihir-apakah-sah-shalat-di-belakangnya/

Baca Selengkapnya ....
 
Free Website templatesRiad in FesFree Flash TemplatesFree joomla templatesCréation site internetConception site internetMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates