Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Dengan dibebaskannya kota Makkah,
jatuhlah sudah kerajaan berhala di ranah hijaz. Bangsa ‘Arab mulai
tunduk kepada Islam, dan mereka berduyun-duyun masuk ke dalamnya. Suku
Hawazin yang mendengar peristiwa itu, merasa khawatir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan
mengerahkan pasukan kepada mereka. Mereka pun bersatu untuk menyerang
beliau. Peristiwa ini pun meletus di Hunain, sebuah lembah yang terletak
antara Makkah dan Thaif, pada bulan Syawwal tahun ke-8 Hijrah.
Sebab-sebab Peperangan
Setelah Allah Subhanahuwata’la memberi kemenangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kaum mukminin dengan takluknya Makkah, serta tunduknya masyarakat
Quraisy, penduduk Tsaqif dan Hawazin pun ketakutan. Mereka yakin bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentu akan menyiapkan pasukan menyerang mereka. Maka sebelum itu terjadi, mereka bertekad untuk mendahului serangan.
Akhirnya mereka bersepakat untuk itu dan
mengangkat Malik bin ‘Auf An-Nashry sebagai panglima perang. Dia
seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun dan dikenal sebagai ahli perang.
Maka berkumpullah suku Hawazin, Tsaqif, Bani Hilal, Bani Jusyam, dan
lain-lain. Di antara mereka ada Duraid bin Ash-Shimmah yang terkenal
sangat ahli dalam peperangan, pendapat dan taktiknya sangat jitu. Tetapi
dia sudah sangat tua dan buta, sehingga hanya dapat memberikan saran
dan arahan.
Adapun strategi yang diatur oleh Malik,
sangat berbeda dengan keinginan Duraid. Malik berpendapat agar mereka
membawa serta semua anak dan istri mereka berikut harta benda mereka.
Menurut Malik, apabila seorang prajurit mengetahui sesuatu yang berharga
dalam hidupnya (keluarga dan harta) ada di belakangnya, kalaupun
terjadi kekalahan, dia tidak akan mungkin meninggalkan mereka jatuh ke
tangan musuh. Sehingga dia akan berjuang sampai mati mempertahankan
harta dan keluarganya.
Ketika hal ini didengar oleh Duraid, dia
bertanya kepada Malik: ”Ada apa ini, saya mendengar suara anak-anak,
kaum wanita, dan binatang ternak dalam pasukanmu?”
Kata Malik: ”Saya ingin menempatkan di
belakang setiap laki-laki ada anak, istri, dan harta mereka agar dia
berperang mempertahankannya.”
Duraid berkata mencemooh: ”(Itulah)
penggembala kambing, demi Allah. Bukan untuk perang. Apakah itu akan
dapat membela orang yang kalah? Sungguh, kalau kau menang itu semua
tidak berguna bagimu selain laki-laki dan senjata. Kalau kau kalah,
berarti kau telah mempermalukan keluarga dan hartamu.”
Tapi Malik tetap dengan pendiriannya.
Bahkan mengancam: ”Wahai masyarakat Hawazin, kalau kalian tidak
menaatiku, aku akan bunuh diri di depan kalian.”
Orang-orang Hawazin terkejut, mereka
berbisik satu sama lain: ”Kalau kita tinggalkan Malik, dia bunuh diri
padahal dia masih muda. Tapi kalau kita ikuti Duraid, dia sudah tua,
tidak ada lagi perang bersama dia.”
Akhirnya mereka memilih Malik. Kemudian
Malik berorasi membakar semangat pasukannya: ”Sungguh, Muhammad (n)
belum pernah berperang sama sekali sebelum ini. Selama ini dia hanya
melawan orang-orang yang tidak mengerti bagaimana berperang, sehingga
bisa mengalahkan mereka. Maka jika kamu bertemu mereka pecahkan sarung
pedang kamu dan seranglah mereka secara serentak dan tiba-tiba!!”
Akhirnya mereka pun berangkat membawa
serta puluhan ribu ekor unta. Malik memerintahkan agar kaum wanita dan
anak-anak diletakkan di atas unta-unta tersebut. Dengan cara ini, Malik
sudah menjatuhkan mental lawan yang melihatnya karena mereka akan
mengira di belakangnya ada ratusan ribu pasukan. Taktik ini adalah salah
satu sebab kemenangan Hawazin pada awal pertempuran.
Malik membawa pasukannya hingga tiba di
lembah Hunain. Daerah ini sudah sangat dikenal oleh Malik sehingga dia
dengan mudah menempatkan pasukannya untuk memusnahkan kaum muslimin
dengan sekali serangan.
Malik mulai membagi pasukannya. Lembah
dan bukit-bukit di sekitarnya menjadi tempat persembunyian dan jebakan
yang sangat kuat. Apabila lawan terpancing masuk ke perut lembah, maka
pasukannya yang ada di kanan kiri bukit akan menghujani mereka dengan
panah dan batu. Apalagi prajurit Hawazin terkenal ahli panah dan tombak.
Persiapan Kaum Muslimin
Sebelum berangkat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk
‘Attab bin Usaid bin Abil ‘Uaish bin Umayyah yang ketika itu berusia
sekitar 20 tahun tinggal di kota Makkah sebagai kepala pemerintahan dan
Mu’adz bin Jabal sebagai pengajar bagi penduduk Makkah.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mendengar rencana penyerangan Hawazin ini, beliau mengirim ‘Abdullah
bin Abi Hadrad sebagai mata-mata mengintai sejauh mana kesiapan
orang-orang kafir tersebut. Lalu berangkatlah ‘Abdullah dan tinggal di
tengah-tengah mereka sehari semalam atau lebih.
Tak lama, ‘Abdullah kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
menceritakan apa yang dilihatnya. Tetapi bisa jadi informasi yang
disampaikannya tidak lengkap. Ada beberapa hal yang tidak tersampaikan
oleh ‘Abdullah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk
taktik perang yang akan dilancarkan oleh Malik. Sehingga ketidaktahuan
akan hal ini menjadi salah satu sebab mundurnya pasukan muslimin pada
awal pertempuran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mulai
menyiapkan pasukan. Terkumpullah 10.000 orang yang sebelumnya ikut
bersama beliau dari Madinah untuk membebaskan Makkah. Kemudian ditambah
dua ribu orang dari penduduk Makkah yang baru masuk Islam.
Beliau juga meminjam beberapa puluh baju
besi dan senjata kepada Shafwan bin Umayyah dan Naufal bin Al-Harits
yang ketika itu masih musyrik.
Kisah Dzatu Anwath
Dahulu, orang-orang kafir Quraisy dan
bangsa ‘Arab lainnya mempunyai sebatang pohon sidr (bidara) yang sangat
besar bernama Dzatu Anwath. Kebiasaan mereka dahulu, selalu
menziarahinya setiap tahun dan menggantungkan senjata mereka di atas
pohon itu, mengharapkan berkahnya. Mereka juga melakukan penyembelihan
hewan korban dan tirakat selama satu hari di bawah pohon itu.
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ n لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ
لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا
أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ
أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ :n سُبْحَانَ
اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا
لَهُمْ آلِهَةٌ؛ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat
menuju Hunain, mereka melewati sebatang pohon yang dipuja oleh kaum
musyrikin bernama Dzatu Anwath. Mereka menggantungkan di atasnya
senjata-senjata mereka.
Maka mereka pun berkata: “Ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka punya Dzatu Anwath.”
Mendengar perkataan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berseru: “Subhanallah
(Maha Suci Allah). Ini adalah ucapan yang sama seperti diucapkan Bani
Israil: ’Buatlah untuk kami sebuah sesembahan sebagaimana mereka
mempunyai beberapa sesembahan’.”
“Sungguh ini betul-betul sunnah. Kamu
sungguh-sungguh akan mengikuti sunnah (jalan hidup) orang-orang sebelum
kamu, sedemikian rapatnya.”[1]
Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang
selama ini hidup di lingkungan yang rusak, lalu berpindah dari
lingkungan tersebut, masih tersisa dalam dirinya sebagian dari
lingkungan buruk itu. Apalagi yang belum lama meninggalkan lingkungan
buruk tersebut. Dan kita mesti ingat, kalau para sahabat yang baru masuk
Islam saja demikian keadaannya, padahal mereka langsung di bawah
bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka bagaimana dengan orang-orang yang datang sesudah mereka, yang lebih jahil dan lemah dari mereka.
Kenyataan ini juga menunjukkan kepada
kita betapa jeleknya kejahilan (terhadap ilmu agama). Seseorang dapat
saja terjerumus ke dalam kesyirikan karena kejahilannya.
Pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
perkataan mereka itu adalah sunnah yang pernah dijalani oleh umat
sebelumnya, memberi pengertian pula bahwa sebab yang menjerumuskan
mereka dalam perbuatan syirik ini adalah tasyabbuh (meniru) kepada apa yang dianut oleh orang banyak (ketika itu).
Dari kisah ini pula kita pahami batilnya tabarruk
(meminta berkah) kepada pohon-pohn kayu dan batu, karena itu semua
adalah kesyirikan. Apalagi Nabi Musa ‘Alaihissalam berkata, sebagaimana
firman Allah Subhanahuwata’ala:
أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَٰهًا
“Patutkah aku mencarikan sesembahan untuk kamu yang selain daripada Allah.” (Al-A’raf: 140)
Demikian pula ungkapan yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau menyamakan ucapan sebagian sahabat yang baru masuk Islam itu
sama seperti perkataan Bani Israil kepada Nabi Musa; karena itulah
hakikat kesyirikan meski lafadznya berbeda.
Seperti ini juga yang dilakukan oleh
para penyembah kubur. Yaitu orang-orang yang meminta syafaat, berkah,
rezeki, jabatan, dan sebagainya kepada para penghuni kubur. Mereka
mengatakan bahwa perbuatan mereka adalah tawassul dan mencintai wali,
bukan syirik. Padahal sesungguhnya, para wali Allah Subhanahuwata’ala
tidak ridha diperlakukan demikian oleh mereka.
Dari kisah ini juga kita lihat para
sahabat dan Bani Israil tidak dikafirkan. Sebab, mereka segera berhenti
dan tidak mewujudkan apa yang mereka minta kepada dua rasul yang mulia
ini. Seandainya mereka tetap melanjutkan apa yang mereka minta, niscaya
mereka jatuh kepada kekafiran.
http://www.salafy.or.id/perang-hunain/
Posting Komentar